Anak-anakku ibarat matahari di siang hari. Usia Kayla 5 tahun 'terlalu cerdas' untuk memilih apa yang dia ingin makan. Pengaruhnya begitu dominan, sampai harus ikut memilih makanan apa cocok buat adiknya, Khalilah (2 th). Bersama ibunya, siang ini mereka bertiga membawa pulang 2 gelas nyam nyam, cemilan dari coklat selera anak2.
Tiba di rumah keduanya meminta saya untuk membuka kemasannya. Sepintas keduanya sama, namun isinya berbeda. Di situ saya baru tahu bubble puff punya Kayla dan fantasy stick milik adiknya seperti tertulis kecil dikemasannya. Melihat ketaksamaan isinya, pikiran saya dibuat kemana-mana. Saat keduanya menikmati keceriaan bersama coklat masing-masing, Khalilah meradang saat melihat coklat milik kakaknya. Dugaan saya terbukti bahwa adiknya ingin coklat yang sama.
"kenapa tidak sama, tawwa ?" tanya saya pada mamanya.
"Kayla yang pilihki itu semua," balas mamanya.
Saya hanya bisa terdiam. Khalilah sebagaimana anak yang lain masih suka meniru. Ini bukan soal selera. Demi untuk menjaga perasaan masing-masing, saya dizinkan untuk mencicipi coklat keduanya.
"Eehemmm," guman saya pada kedua.
"Rasanya sulit dilukiskan dengan kata-kata," ucap saya dengan canda sambil melirik mamanya.
Mereka bertiga hanya bisa cekikan mendengarnya.
Kata-kata itu saya anggap ambigu. Demi memuaskan selera keduanya. Kata itu terasa umum dipakai orang dewasa untuk menyenangkan orang lain, tanpa melukai salah satunya. Meski setengah bercanda, tapi kalimat itu menjadi penyatuan rasa beda selera.
Tapi bukan soal kalimat itu yang ingin saya apresiasi. Saya hanya perlu menyempurnakan keterlibatan perasaan saya terhadap perilaku anak-anak. Meniru dan meminta persamaan adalah intuisi anak yang tak ingin dibeda-bedakan. Bukankah dalam perjalanan waktu kita sebagai orang dewasa cenderung berperilaku seperti anak kecil.
Budaya meniru bahkan menjadi penyakit sosial. Paling mudahnya disematkan pada ketakmampuan kita melihat orang lain berpunya. Perasaan memihak pada 'api kecemasan'. Termasuk ketakmampuan pikiran positif, meniru orang lain untuk sukses.
Saya melihat Khalilah telah berpaling dan meninggalkan sisa coklatnya. Sementara Kayla dengan lahan menuntaskan pilihannya. Dan bergerak untuk menuntaskan 'pilihan cerdasnya.'
Timbul pertanyaan, kenapa Kayla melakukan itu ? Karena dia tahu pilihannya dibatasi. Hanya satu. Untuk bisa merasakan coklat yang berbeda, dia harus memilihkan untuk adiknya coklat jenis lain. Itu dugaan saya saja.
Nb.
1.tawwa, bahasa pengiba cenderung dipakai sebagai canda dalam dialog/bahasa Makassar
2.pilihki berarti dia yang pilih, bandingkan dengan pilihki’ berarti ajakan untuk memilih.
Profil dan Bacaan Terkait
Seorang Ibu, Tempat Anak Bersekolah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H