Meski memiliki kekurangan, namun Syamsul menilai budidaya dengan metode Bioflok ini masih memiliki prospek untuk dikembangkan, namun syaratnya memang harus dilakukan dalam skala besar.
“Kalau menurut saya, program ini bisa lebih efektif kalau skalanya lebih besar. Saat ini, untuk menyesuaikan pasar yang sesuai keinginan masyarakat Makassar agak susah. Kalau nanti harganya berbeda antara yang pakan biasa dan Bioflok ini, mungkin akan menguntungkan. Sayangnya harganya masih relatif sama karena masyarakat kita belum bisa membedakan.”
Untuk penjualan ikan lele sendiri melalui pedagang yang rutin membeli dalam skala besar. Penjualan dalam skala eceran tidak mereka layani karena kecenderungan ikan lele yang memiliki tingkat stres yang tinggi, yang akan terganggu ketika diaduk di saat pengambilan ikan.
Untuk ikan nila sendiri, karena masih uji coba, Syamsul belum bisa menjelaskan lebih jauh dari segi keuntungan, kecuali estimasi di atas kertas. Pasarnya sendiri telah tersedia, karena kebutuhan ikan nila yang cukup besar di Kota Makassar.
“Beberapa pedagang tempat kami beli bibit menjamin untuk membeli hasil budidaya kami karena melihat potensi ikan di Makassar dan malah ada yang diekspor.”
Secara manfaat, Syamsul menyatakan sangat terbantu dengan adanya CCDP - IFAD ini, karena sarana dan prasarana yang mereka terima, termasuk kebutuhan pakan dan bibit yang terpenuhi dengan baik. Di antara seluruh pembiayaan, penggunaan terbesar dari dana yang mereka terima digunakan untuk kebutuhan pakan.
Manfaat lain yang dirasakan adalah pada kebersamaan sesama anggota kelompok, sehingga mereka bisa saling berbagi pengalaman dalam budidaya melalui metode Bioflok ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H