Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Mencintai dari Filep Karma

25 Februari 2018   06:46 Diperbarui: 25 Februari 2018   08:29 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jendela apartemen itu sedikit silau. Sinar matahari sore warna coklat lembut. Di lantai, hanya bantal di kepala, lelaki itu terlihat begitu bahagia dengan tidurnya. Suara dengkurannya menggema memenuhi ruangan padat buku itu.

"Sstt.." Andreas, si tuan rumah, memberi isyarat dengan jari di bibir. Ia menunjuk ke arah lelaki yang mendengkur itu. 

Peringatan itu ternyata tidak berlaku kepada tiga anak kecil yang kemudian datang dengan keriangannya.

Tak lama, lelaki itu terbangun.

Dari wajahnya yang dipenuhi bulu lebat, sebagian warna putih, terlihat senyum ramah menyambut kehadiran kami. Ia kemudian menyalami kami satu persatu.

"Saya Filep," katanya.

Ia mengenakan baju coklat muda. Sebagian rambutnya yang putih digimbal. Di bagian depan badannya terdapat replika bendera Bintang Kejora seukuran kartu nama. Tak ada barang mewah melekat di dirinya.

Tanpa diberitahu pun saya tahu bahwa lelaki itu adalah Filep Karma. Tokoh Papua yang hingga saat ini terus berjuang untuk kemerdekaan Papua.

Saya telah lama mengenal Filep sebagai seorang pejuang yang gigih. Ia sempat dipenjara dua kali, total 13 tahun, karena menolak tunduk pada kekuasaan yang dianggap menindas masyarakatnya. Baru kali ini saya bertemu langsung dengannya dan terasa bangga bisa menyalaminya.

Sosok Filep tak jauh dari gambaran saya selama ini, kecuali sikap lembutnya. Saya membayangkan ia adalah sosok yang berapi-api dengan suara keras, seperti aktivis lapangan pada umumnya.

Dalam pertemuan singkat itu Ia tak cerita tentang aktivitasnya dan saya menahan diri bertanya tentang hal-hal sensitif, misalnya tentang sikapnya yang keras terhadap pemerintah indonesia.

"Saya anti kekerasan," ujarnya.

Dari pertemuan singkat ini saya jadi tahu nama lengkapnya adalah Filep Jacob Semuel Karma. Ia punya seorang istri dan anak perempuan, yang ketiganya bekerja di bidang kesehatan.

Perbincangan kami malam itu tak banyak. Ia bicara tentang rencananya ke Jerman dan Inggris atas undangan dari Amnesti Internasional. Ia ingin seluruh dunia tahu tentang apa saja yang terjadi di Papua. Dan mungkin juga akan sedikit bercerita tentang beragam kasus kriminalisasi, persekusi dan kekerasan negara di Indonesia.

Sambil bercanda ia bertanya tentang Andi Azis, seorang tentara di Sulsel yang membangkang di masa-masa revolusi.

"Ada juga Kahar Muzakkar," balas saya sambil tertawa.

"Betul..betul..!" balasnya tertawa lebar.

Yang menarik dari orang ini adalah beragam atribut yang melekat di dirinya. Penuh symbol. Dan kontradiktif.

Ia memakai pakaian seragam coklat, pakaian khas PNS, namun di dadanya dipasang bendera kecil, seukuran kartu nama, bergambar bendera bintang kejora. Rambutnya yang gimbal dan dikucir, kontras dengan usianya yang telah separuh abad. Sama kontras dengan kehidupannya, seorang pensiunan ASN, anak mantan bupati, istri dan anak-anaknya bekerja untuk pemerintah, namun di sisi lain bersikap 'berontak' terhadap pemerintah RI.

Pertemuan kami selanjutnya beberapa hari kemudian. Ia tiba-tiba berdiri di depan pintu di depan ruamg kelas tempat kami diskusi dengan Janet Steel, seorang sejarahwan media dari AS. Tanpa memperkenalkan diri, semua orang sepertinya sudah mengenalnya. Ada yang melihat dengan mulut menganga, antara takjub dan senang bisa bertemu langsung dengan Filep Karma.

Seperti halnya bertemu selebriti, mereka mengerumuni Filep dan berakhir dengan foto bersama. Dan dasar wartawan, mereka memanfaatkan momen ini untuk wawancara.

Sama dengan ketika berbincang dengan saya, Filep adalah sosok yang terbuka, humoris dan berani. Ia tak sungkan-sungkan bicara tentang seluruh pemikirannya dan perlawanannya selama ini. Yang diharapkannya semata adalah keadilan untuk Papua.

Ia berani. Menyuarakan suara-suara masyarakat Papua secara lantang meski kemudian menjadi martil. Namun di balik kekerasan sikapnya ia selalu menolak jalan kekerasan. Baginya dialog sangat penting namun harus didasari pada kejujuran dan penghargaan antara kedua belah pihak.

Seorang teman bertanya sikapnya tentang kebijakan pemerintah Jokowi sekarang yang sangat perduli pada Papua. Salah satu buktinya adalah pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, yang menghubungkan antar daerah di Papua. Membuka akses yang dulunya terisolasi.

Filep menolak klaim itu.

"Pembangunan infrastruktur itu bukan untuk orang Papua. Mereka membangun jalan namun di sepanjang jalan dibangun pos-pos tentara. Orang Papua tak sepenuhnya leluasa menikmati jalan itu," katanya dengan suara agak meninggi.

Saya bergidik mendengar bantahannya dengan suara yang sedikit meninggi. Keningnya berkerut. Meski kemudian tersenyum lembut.

Semua pertanyaan saya tentang Papua seakan terjawab, ketika bertemu langsung dan berbincang Filep. Seorang sepuh yang sering merepotkan pemerintah, dan mungkin karena itulah Jokowi lebih sering ke Papua dibanding ke daerah manapun di dalam negeri.

Menurutku, ia bukanlah seorang pemberontak, bukan kriminal. Ia hanya seorang yang begitu mencintai negerinya. Papua. Dan untuk itu ia rela menjadi martir. *

Jakarta, Januari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun