“Sekali produksi rata-rata 20 bungkus per hari. Tapi kadang juga bisa 50 atau bahkan 70 bungkus kalau ada permintaan khusus.”
Sebungkus kripik ini seukuran 80 gram dijual dengan harga Rp 10.000,-. Untuk anak-anak sekolah ada kemasan yang lebh kecil dengan harga Rp 5.000/bungkus.
“Saya masih terus mencari formula yang tepat, campur sana campur sini. Kemasannya juga dipercantik agar bisa memberi daya tarik tersendiri.”
Wahyuni sendiri memulai usaha kripik pisang hijau ini berawal dari keikutsertaannya dalam proyek Bintang Muda CARE Indonesia. Sebelum terlibat di proyek ini, ia pernah memiliki usaha lain, yaitu usaha biro perjalanan di dalam dan luar negeri. Hanya saja usaha ini dinilainya kurang bisa berkembang.
“Setelah mengikuti beberapa kali pelatihan saya mulai mencari ide-ide usaha yang kira-kira bagus dan terpikir pisang hijau ini karena saat itu sepertinya belum ada yang mengusahakan dalam bentuk kripik.”
Hal yang paling penting diperoleh dari pelatihan itu tidak hanya motivasi untuk usaha tapi juga pada pentingnya pemasaran.
“Kita diajarkan bahwa sebelum memulai usaha harus sudah dipetakan pasar produk yang akan kita buat. Dijual kemana. Untuk apa membuat produk jika toh tak ada yang akan membeli.”
Hal penting lainnya yang diperoleh dalam pelatihan-pelatihan tersebut adalah strategi bertahan dalam situasi krisis atau bencana.
Keseriusan Wahyuni juga terlihat dari upayanya mematenkan merk usahanya serta perjuangannya memperoleh izin usaha yang disebut Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan.
“Saya sudah patenkan mereknya meski hanya untuk skala Makassar. Begitupun PIRT sudah diurus karena kebetulan sedang ada proyek untuk itu, jadi prosesnya lebih mudah.”