Mohon tunggu...
Wahyu Chandra
Wahyu Chandra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan blogger

Jurnalis dan blogger, tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Petambak di Pulau Lakkang: Hasil Tambak Melimpah, Sekolah Anak Lancar

11 Agustus 2016   15:38 Diperbarui: 12 Agustus 2016   11:30 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Abdul Haris, Ketua Kelompok Bonto Perak 1 menunjukkan ikan bandeng hasil tambaknya (Foto: Wahyu Chandra)

NURBAYA (44) tak henti-hentinya tersenyum. Wajahnya sumringah menjawab setiap pertanyaan yang diajukan padanya. Ada nada bangga di suaranya ketika menceritakan seorang anaknya baru saja selesai kuliah di Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar (UNM). Seorang lagi anaknya masih sementara menempuh pendidikan manajemen di STIEM LPI Makassar, dan satu lagi meski tidak lanjut kuliah namun telah menikah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta di Makassar.

“Alhamdulillah, hasil tambak yang membaik selain untuk kebutuhan sehari-hari juga untuk membiayai kuliah anak-anak. Hasil panen sekarang lumayan baik dan lancar. Utang-utang di tengkulak pun sudah terbayar semua, jadi semua keuntungan bisa dinikmati sendiri,” katanya tanpa melepaskan senyum.

Nurbaya adalah warga Pulau Lakkang, Kelurahan Lakkang, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Ia dan semuanya memiliki tambak seluas 1 hektar untuk budidaya udang dan ikan bandeng. Suaminya, Hamiruddin (47) kini menjabat sebagai Sekretaris pada Kelompok Bonto Perak 1, salah satu kelompok nelayan budidaya di Pulau Lakkang, yang dua tahun terakhir mendapatkan bantuan dana dari Program Coastal Community Development International Fund for Agricultural Development (CCD-IFAD) atau disebut Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir (PMP) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan kerja sama dengan IFAD. 

Pernyataan Nurbaya diamini Abdul Haris, Ketua Kelompok Bonto Perak 1. Haris memperlihatkan sebuah catatan progres produksi dan penghasilan anggota kelompok yang menunjukkan trend peningkatan setiap tahunnya. Ia juga memperlihatkan sebuah tabungan kelompok yang terus bertambah, yang menjadi salah indikator keberhasilan kelompok, tidak hanya dari segi produksi tapi juga dari segi pengelolaan keuangan.

“Kalau tabungan kelompok sekarang totalnya sekitar Rp 8 juta. Setiap bulan anggota menabung rutin Rp 10 ribu. Setiap panen mereka juga setor tabungan Rp 200 ribu. Semuanya disimpan di rekening kelompok, namun sewaktu-waktu bisa ditarik jika ada kebutuhan mendesak. Hanya saja sejauh ini belum ada yang menarik dana atau pinjam karena masih punya modal. Jadi tabungan masih utuh,” ungkap Haris.

Kondisi ini dinilai Haris sebagai pencapaian yang luar biasa, karena selama ini, sebelum mendapat bantuan dari Program CCD IFAD, sebagian besar anggota kelompok selalu berada dalam jeratan utang tengkulak, yang juga menjadi pedagang pengumpul, pembeli hasil panen mereka. Mereka biasanya berutang bibit, pestisida dan pupuk. Selain menanggung bunga yang cukup besar, mereka juga sangat tergantung pada para tengkulak tersebut. Semua hasil panen harus dijual kepada mereka dengan standar harga secara sepihak oleh para tengkulak tersebut.

“Masih mending kalau hasil panen banyak, semua utang bisa dilunasi beserta bunganya. Namun ketika panen gagal, mereka tidak hanya gagal bayar utang tapi juga harus menumpuk utang baru sebagai modal usaha selanjutnya.”

Sama halnya dengan Nurbaya, Haris mengakui semakin membaiknya kondisi mereka tersebut berdampak pada tingkat pendidikan anak-anak mereka. Seorang anak Haris kini sudah menamatkan kuliah di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah (UNESMUH Makassar), seorang anaknya masih menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Manajemen (STIEM) dan seorang lagi baru masuk SMP.

***

KELOMPOK Bonto Perak 1 pertama kali dibentuk di tahun 2009, di mana Haris sudah menjadi ketuanya. Jumlah anggota kelompok ketika itu sebanyak 10 orang, sama dengan jumlah anggota kelompok sekarang. Hanya belakangan terjadi pergantian anggota.

“Kalau dulu itu semua anggotanya adalah laki-laki. Hanya saja ada rekomendasi dari IFAD tentang kesetaraan gender sehingga beberapa anggota diganti dengan perempuan, yaitu istri mereka sendiri. Jadi sebenarnya bisa dikatakan tidak ada perubahan, karena anggota baru ini hanya menggantikan posisi suami mereka saja. Di kelompok kami terdapat 3 orang perempuan sebagai anggota.”

Awalnya, pembentukan kelompok di tahun 2009 tersebut terkait adanya bantuan untuk nelayan. Bantuan tersebut hanya diberikan kepada kelompok, bukan individu. Sayangnya, bantuan tersebut hanya sekali saja tanpa ada keberlanjutan lagi. Haris sendiri mengakui sudah lupa nama Program bantuan dan besarnya bantuan yang diberikan ketika itu.

Ketika Program CCD IFAD masuk di tahun 2013, kelompok ini tak menyia-nyiakan peluang untuk mendapatkan modal usaha dan mengelolanya dengan baik. Kendala utama mereka selama ini memang pada modal, yang kemudian memicu tindakan mereka untuk meminjam pada tengkulak.

“Dengan adanya bantuan IFAD ini benar-benar membuat kami terpacu untuk mandiri dan perlahan melepaskan diri dari jeratan utang tengkulak. Biasanya memang kami pinjam bibit pada mereka. Anggota kelompok kami sekarang sudah jarang yang utang pada mereka. Kalau pun utang dalam kondisi sangat terpaksa dan itu pun segera dilunasi paling lama 3 hari, biasanya untuk beli pupuk.”

Terkait tabungan, kelompok ini termasuk kelompok yang aktif karena memang sudah menjadi kesepakatan bersama dari awal program, sehingga dalam perjalanan kelompok tak pernah keluhan dari para anggotanya.

“Sejak awal memang sudah disampaikan bahwa tabungan ini adalah milik kita sendiri, sama seperti menabung di bank.”

Hanya saja, tabungan ini tidak dikelola, hanya disimpan saja. Menjadi cadangan dana anggota dan bahkan bisa digunakan sebagai modal usaha jika ada anggota yang ingin membuat usaha lain.

Bantuan dari program CCD IFAD membuat anggota Kelompok Bonto Perak 1 bisa meningkatkan hasil panen. Mereka bahkan mampu menguliahkan anak-anak mereka dari hasil tambak (Foto: Wahyu Chandra)n
Bantuan dari program CCD IFAD membuat anggota Kelompok Bonto Perak 1 bisa meningkatkan hasil panen. Mereka bahkan mampu menguliahkan anak-anak mereka dari hasil tambak (Foto: Wahyu Chandra)n
Hal yang menarik dari program ini, menurut Haris, adalah karena berbasis kebutuhan. Mereka sendiri yang menentukan digunakan untuk apa dana bantuan tersebut, sesuai dengan kebutuhan mereka. Sama halnya ketika mereka mendapatkan reward second trance, pengelolaan dananya berdasarkan usulan mereka sendiri, bukan kendali atau keinginan pendamping atau pihak pemberi dana.

Kebutuhan mendasar kelompok ini tak lepas dari bibit, pupuk dan pestisida. Selain itu, ada juga untuk perbaikan pematang yang sifatnya situasional, misalnya kalau terjadi longsor di pematang tambak akibat hujan. Ini berdampak pada semakin rendah dan sempitnya luasan pematang. Belum lagi karena kenaikan air sungai yang beberapa tahun ini sering terjadi.

“Makanya kalau dalam setahun kita tidak tambah pematangnya maka bisa hilang karena tenggelam. Ini banyak terjadi.”

Untuk perbaikan tambak ini, karena kerusakan yang cukup besar, maka mereka membutuhkan bantuan dari luar dengan cara sewa pekerja. Dalam 1 are biayanya bisa mencapai Rp 600 ribu. Tanah yang digunakan untuk perbaikan diambil dari tambak itu sendiri dengan cara mengeruknya dari dasar.

Masalah yang kini sulit mereka tangani adalah pencemaran sungai akibat limbah dari perusahaan dan rumah tangga, karena Sungai Tallo sebagai sumber air tambak mereka memang melalui sejumlah perusahaan. Kondisi ini membuat mereka sulit untuk berinovasi.

“Biar bagaimana cara kita berinovasi tapi kalau airnya memang sudah tercemar tetap saja kami tidak bisa apa-apa. Jadi kalau seperti itu biasanya kita lihat saja tunggu airnya sampai bersih. Kadang sampai 3 minggu kita tidak memasukkan air, karena bisa merusak seluruh isi tambak.”

Pencemaran ini membuat air sungai menjadi hitam dan berbau. Dampak paling nyata adalah banyaknya biota sungai yang mati, khususnya ketika pencemaran ini meluas. Warga sendiri sudah beberapa kali menyampaikan hal ini ke pemerintah, termasuk demonstrasi ke perusahaan, namun hingga saat ini tak ada penyelesaian yang nyata.

Tak adanya upaya penyelesaian masalah limbah ini membuat warga beradaptasi dengan kondisi yang ada. Mereka baru memasukkan air ke tambak ketika kondisi air sudah membaik. Indikatornya selain dari warna dan bau juga dengan melihat ikan-ikan yang ada di sungai. Kalau ikan-ikan sudah terlihat di permukaan artinya kondisi air sudah aman untuk tambak.

Umumnya petambak di Pulau Lakkang menggunakan tambaknya untuk budidaya udang dan ikan bandeng, namun prioritas pada udang karena harga yang lebih mahal dan panen yang singkat. Panen udang hanya butuh 3 bulan sejak penebaran banih, sementara untuk bandeng butuh waktu 6-7 bulan dan bahkan bisa sampai setahun.

Dalam 1 hektar tambak mereka biasanya menebar 15 ribu 20 ribu benih udang. Tak semua bisa berkembang dengan biak. Paling banyak yang mereka bisa panen berkisar antara 100 – 150 Kg, dengan harga jual Rp 75 ribu per Kg. Dalam setahun biasanya mereka panen dua kali. Hanya saja kadang muncul penyakit udang yang bisa membunuh sebagian atau malah seluruh isi tambak.

“Dengan hasil panen sekitar 150 Kg maka keuntungan bersih bisa sampai Rp 5 juta. Itu setelah kita pisah dengan biaya-biaya pembelian bibit, pupuk, pestisida, dan lainnya. Namun kadang kita hanya untung sedikit dan malah pernah tak kembali modal.”

Untuk budidaya ikan bandeng sendiri, ada yang menggabungkan dengan udang ada juga yang memisahkannya di tambak yang terpisah. Melihat pada faktor kepadatan tambak saja. Karena salah satu penyakit pada ikan bandeng adalah menjadi kerdil ketika kondisi tambak sangat padat.

“Kalau tambaknya terlalu padat maka pada usia tertentu sebagian ikan bandeng kita pindahkan ke tambak lain agar tidak menjadi kerdil karena gangguan pada pertumbuhan.”

Haris mengaku juga melakukan budidaya ikan bandeng namun hanya untuk konsumsi keluarga. Kalaupun dijual hasilnya maksimal Rp 1 juta saja.

Budiadaya tambak di Pulau Lakkang sudah dilakukan secara turun temurun. Bahkan 80 persen dari sekitar 3000 warga di pulau ini adalah petambak.

***

SEPERTI halnya Nurbaya dan Tahir, Harifuddin (43) dengan bangga bercerita kalau salah seorang anaknya kini kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar. Seorang lagi langsung bekerja setamat dari SMA.

“Alhamdulillah dari dari hasil tambak yang berhasil beberapa tahun ini kami bisa menguliahkan anak,” ujarnya.

Terhadap tambaknya yang seluas 70 are, dari bantuan Program CCD IFAD ia gunakan untuk membeli bibit dan pupuk.

Harifuddin termasuk petambak yang tidak mau meminjam dari tengkulak. Daripada meminjam dari tengkulak ia lebih memilih bekerja sebagai sopir perahu, menyeberangkan orang masuk dan keluar dari Pulau Lakkang. Pekerjaan sebagai sopir perahu ini dilakoninya hanya 3 kali dalam seminggu karena harus berbagai rute dengan sopir pengangkut lainnya. Dari pekerjaan ini ia bisa memperoleh penghasilan Rp 100 ribu per hari.

Usaha tambak dan pekerjaannya sebagai sopir kini menjadi tumpuan hidup keluarga mereka, karena pekerjaan sebagai nelayan sudah tidak menjanjikan lagi.

“Saya bawa perahu sudah 8 tahun. Dulu saya nelayan tangkap. Saya berhenti karena kondisi air sungai yang tercemari. Banyak nelayan sekarang yang menganggur, makanya banyak yang mencari kerjaan lain atau fokus urus tambak mereka saja.”

Dari tambaknya ia bisa memperoleh hasil udang hingga 100 Kg, meningkat dari sebelum adanya Program CCD IFAD yang hanya sekitar 70 Kg. Peningkatan hasil itu karena Harifuddin menambah sebaran bibit dari hanya 10 ribu bibit menjadi 14 ribu.

“Manfaat itulah yang saya dapatkan sejak adanya IFAD. Apalagi kita tidak hanya dikasih bantuan bibit dan pupuk tetapi juga ada pelatihan tentang cara pemeliharaan tambak. Semua anggota sudah dilatih, kadang di pulau tapi kadang juga di luar. Pelatihan yang paling bermanfaat adalah tentang tata cara pemeliharaan dan cara penebaran bibit.”

Harifuddin juga menyadari manfaat menabung daim program ini.

“Kalau dulu hasil panen tak bertahan lama langsung habis, sekarang sebagian hasil panennya biasa ditabung, untuk keperluan tambak periode berikutnya dan membiayai sekolah anak-anak.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun