Awalnya, pembentukan kelompok di tahun 2009 tersebut terkait adanya bantuan untuk nelayan. Bantuan tersebut hanya diberikan kepada kelompok, bukan individu. Sayangnya, bantuan tersebut hanya sekali saja tanpa ada keberlanjutan lagi. Haris sendiri mengakui sudah lupa nama Program bantuan dan besarnya bantuan yang diberikan ketika itu.
Ketika Program CCD IFAD masuk di tahun 2013, kelompok ini tak menyia-nyiakan peluang untuk mendapatkan modal usaha dan mengelolanya dengan baik. Kendala utama mereka selama ini memang pada modal, yang kemudian memicu tindakan mereka untuk meminjam pada tengkulak.
“Dengan adanya bantuan IFAD ini benar-benar membuat kami terpacu untuk mandiri dan perlahan melepaskan diri dari jeratan utang tengkulak. Biasanya memang kami pinjam bibit pada mereka. Anggota kelompok kami sekarang sudah jarang yang utang pada mereka. Kalau pun utang dalam kondisi sangat terpaksa dan itu pun segera dilunasi paling lama 3 hari, biasanya untuk beli pupuk.”
Terkait tabungan, kelompok ini termasuk kelompok yang aktif karena memang sudah menjadi kesepakatan bersama dari awal program, sehingga dalam perjalanan kelompok tak pernah keluhan dari para anggotanya.
“Sejak awal memang sudah disampaikan bahwa tabungan ini adalah milik kita sendiri, sama seperti menabung di bank.”
Hanya saja, tabungan ini tidak dikelola, hanya disimpan saja. Menjadi cadangan dana anggota dan bahkan bisa digunakan sebagai modal usaha jika ada anggota yang ingin membuat usaha lain.
Kebutuhan mendasar kelompok ini tak lepas dari bibit, pupuk dan pestisida. Selain itu, ada juga untuk perbaikan pematang yang sifatnya situasional, misalnya kalau terjadi longsor di pematang tambak akibat hujan. Ini berdampak pada semakin rendah dan sempitnya luasan pematang. Belum lagi karena kenaikan air sungai yang beberapa tahun ini sering terjadi.
“Makanya kalau dalam setahun kita tidak tambah pematangnya maka bisa hilang karena tenggelam. Ini banyak terjadi.”
Untuk perbaikan tambak ini, karena kerusakan yang cukup besar, maka mereka membutuhkan bantuan dari luar dengan cara sewa pekerja. Dalam 1 are biayanya bisa mencapai Rp 600 ribu. Tanah yang digunakan untuk perbaikan diambil dari tambak itu sendiri dengan cara mengeruknya dari dasar.
Masalah yang kini sulit mereka tangani adalah pencemaran sungai akibat limbah dari perusahaan dan rumah tangga, karena Sungai Tallo sebagai sumber air tambak mereka memang melalui sejumlah perusahaan. Kondisi ini membuat mereka sulit untuk berinovasi.