Mohon tunggu...
Wahyu AgungPermana
Wahyu AgungPermana Mohon Tunggu... Konsultan - Direktur Eksekutif Pusat Studi Pelayanan Publik

Pemerhati lembaga pemerintahan terkait pelayanan publik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pedagang Eceran (Retailer) dan Dinamika Birokrasi: Diskusi Pedagang Minyak Goreng

2 April 2024   09:11 Diperbarui: 2 April 2024   09:30 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi minyak goreng (SHUTTERSTOCK/NAYPONG STUDIO)

Baru-baru ini Presiden RI meresmikan Pabrik Pengolahan Minyak Makan Merah, yang diklaim memiliki kandungan nutrisi/gizi yang lebih baik dibanding minyak goreng sawit yang ada saat ini. Disisi lain, dari aspek produksi Minyak Makan Merah ini diklaim dapat mempercepat proses hilirisasi industri Minyak Kelapa Sawit (CPO).

Namun berbicara mengenai Industri minyak kelapa sawit ini, masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar mengingat komoditas Minyak Goreng adalah salah satu kebutuhan pokok bagi Masyarakat Indonesia.

Besarnya nilai transaksi dan produksi Industri Minyak Goreng dapat tercermin dari nilai produksi minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia. Mengutip dari pernyataan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, di majalah Hortus Archipelago, produksi CPO Indonesia tahun 2023 mencapai 50,07 juta ton atau naik 7,15% dari tahun sebelumnya. Pada tahun yang sama, konsumsi dalam negeri naik 23,13 juta ton atau kenaikan sekitar 8,90 persen dibanding tahun 2022. Sebaliknya untuk tujuan ekspor mengalami penurunan menjadi 32,21 juta ton atau 2,3% lebih rendah, terutama disebabkan oleh pasar Uni Eropa.

Hal ini seharusnya menujukkan hal yang positif bagi para pelaku dalam industri kelapa sawit di Indonesia, termasuk industri minyak goreng yang nampaknya masih banyak pekerjaan rumah seperti pada saat tahun 2022.

Mulai terjadinya praktek monopoli terhadap penentuan harga produk di Industri Minyak Kelapa Sawit dengan telah diputuskannya pelanggaran terhadap UU no. 5/1999 kepada 7 pelaku industri minyak goreng oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada bulan Mei 20231.

Selain itu, di sektor hilirnya terjadi kerugian bagi para pengusaha penjual eceran (Retailer) dimana terdapat kerugian akibat utang selisih bayar atau rafaksi minyak goreng sebesar Rp 344 miliar yang sampai saat ini masih belum dibayarkan.

Perihal rafraksi minyak goreng ini, akibat adanya beberapa hal antara lain:

Ketidakhati-hatian pembuat kebijakan c.q. Menteri Perdagangan.

Terlepas pada saat kondisi perekonomian yang tidak menentu, sepanjang tahun 2022, komoditas minyak goreng paling tidak telah membuat Kementerian Perdagangan menghasilkan banyak regulasi, diantaranya:

  • Program minyak goreng satu harga, Rp14.000 per liter, yang diberlakukan Menteri Perdagangan sebelumnya, Muhammad Lutfi, pada 18 Januari 2022 yang telah melibatkan para pelaku di industri minyak goreng, baik produsen maupun pengecer, diganti mendadak oleh
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit tanggal 26 Januari 2022
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah (Rp. 14.000) tanggal 16 Maret 2022
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Curah Rakyat tanggal 23 Mei 2022
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 41 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Minyak Goreng Kemasan Rakyat tanggal 5 Juli 2022 (Menteri Perdagangan RI sudah digantikan oleh Zulkifli Hasan)
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat tanggal 29 September 2022.

Kemendag Slow Respon (cq. Mendag)

Di sisi lain, BPDPKS (Badan Penyelenggara Dana Perkebunan Kelapa Sawit) sebagai institusi penanggung pembiayaan telah siap mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 433 Milyar yang dibutuhkan sebagai implikasi Peraturan Menteri Perdagangan mengenai Minyak Goreng yang telah ditetapkan. Namun pihak BPDPKS mengunggu perintah bayar dari Kementerian Perdagangan. Dana BPDPKS sendiri adalah dana yang dikutip setiap produsen CPO melakukan ekspor ke manca negara. Artinya dana BPDPKS bukanlah dana APBN namun dana untuk mendukung pengembangan industri minyak goreng di tanah air.

Akibat adanya ketidakjelasan pembayaran dana rafaksi minyak goreng Asosiasi Pedagang Retail (APRINDO) telah melakukan berbagai permohonan audiensi ke berbagai instansi, seperti DPR RI, Kementerian Perdagangan, BPDPKS, Kantor Staff Presiden (KSP), Rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR RI, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), hingga ke kantor Kemenkopolhukam RI (Kontan, 20 Agustus 2023). Pada intinya APRINDO  meminta  pemerintah  cq. Kementerian Perdagangan RI untuk dapat segera membayar dana rafaksi yang sudah dibayarkan oleh para pengecer untuk mendukung program minyak goreng satu harga yang sudah berjalan selama hampir 2 tahun.

Selanjutnya yang perlu kita garis bawahi adalah perlunya antisipasi kenaikan harga minyak goreng paling tidak karena dua hal, yaitu:

Dampak langsung pengaruh dari dinamika sisi supply (retailer)

Mengutip lagi, pernyataan Roy Nicholaus Mandey, Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (APRINDO) yang menyebutkan apabila utang rafaksi tersebut tak kunjung dibayarkan, maka pihaknya tidak akan segan-segan untuk membawa gugatan hukum ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) melalui kuasa perusahaan peritel kepada APRINDO.

"Sampai saat ini Kemendag tidak ada itikad baik buat bayar makanya dikasih semua keputusan di tangan peritel. Aprindo tinggal menunggu apa kata peritel dan akan siap ketika 31 perusahaan ritel bilang kami berikan kuasa untuk PTUN, memotong tagihan, dan mengurangi pembelian maka kita lakukan," ujarnya, yang dikutip dari publikasi CNBC Indonesia.

Akibat terganggu masalah pembayaran hutang rafaksi oleh pemerintah juga berpotensi menimbulkan masalah lainnya di masyarakat. Retailer modern merupakan ujung tombak kebijakan pemerintah dalam melakukan stabilitas harga produk kebutuhan pokok seperti gula, beras, minyak goreng, dll. Jangan sampai akibat hutang dana rafaksi minyak goreng tidak kunjung dibayarkan oleh Kementerian Perdagangan membuat retailer menjadi enggan untuk berpartisipasi dalam kebijakan stabilitas harga produk-produk kebutuhan pokok masyarakat.

Dampak tidak langsung akibat dinamika sisi demand (demand pull inflation)

Berdasarkan publikasi dari CNN Indonesia pada bulan Februari 2024 disebutkan bahwa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga minyak goreng mulai naik pada pekan keempat Februari 2024 pada rapat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah3

Inspektur Jenderal Kemendagri Tomsi Tohir mengatakan minyak goreng menjadi satu dari tiga komoditas utama yang harganya melonjak. Sedangkan dua lainnya adalah beras yang harganya tak kunjung turun serta cabai merah.

Ini tiga komoditas yang naiknya cukup signifikan, beras, cabai merah, dan minyak goreng. (Harga) beras (naik) di 268 daerah kabupaten/kota, cabai merah di 241 daerah, dan minyak goreng di 220 daerah,

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini juga menyebut minyak goreng memang terus menunjukkan tren kenaikan harga. Walaupun kenaikannya tidak terlalu signifikan dibanding pekan lalu.

Pada bahan paparan BPS tampak harga rata-rata minyak goreng secara nasional pada pekan keempat Februari 2024 mencapai Rp17.710 per kg. Ini naik dari pekan sebelumnya yang hanya Rp17.691 per kg.

Kementerian Perdagangan RI Menunggu Apa Lagi?

Menjadi pertanyaan mengapa Kemendag mengulur-ulur pembayaran hutang rafaksi kepada peritel setelah kebijakannya didukung penuh ? Padahal semua persyaratan yang menjadi dasar bagi Kementerian Perdagangan menginstruksikan BPDPKS untuk membayar daya rafaksi sudah dimiliki, antara lain:

  • Kejaksaan Agung sudah mengeluarkan Legal Opinion (LO) yang dijadikan alasan oleh Kementerian Perdagangan untuk menunda pembayaran dana rafaksi yang ditagihkan oleh peritel modern. Isinya jelas agar Pemerintah membayar dana rafaksi yang telah dibayarkan oleh peritel untuk mendukung program minyak goreng satu harga walaupun peraturan menterinya telah dicabut;
  • SUCOFINDO selaku lembaga surveyor yang ditunjuk oleh Kementerian Perdagangan sudah mengeluarkan hasil perhitungan besarnya dana rafaksi yang dikeluarkan baik oleh pihak produsen maupun pihak retailer.
  • Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP) sudah mengeluarkan pernyataan bahwa hasil perhitungan SUCOFINDO sudah menggunakan metodologinya sudah benar dan dapat digunakan sebagai dasar    dalam    perhitungan pembayaran dana rafaksi oleh BPDPKS;
  • Kementerian Politik Hukum dan Keamanan RI telah menerbitkan surat rekomendasi agar Kementerian Perdagangan membayar dana Rafaksi dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada pengusaha di industri minyak goreng.

Beberapa Catatan Penting

Berdasarkan Permendag No 6 Tahun 2022 kebijakan HET untuk minyak goreng premium dengan harga Rp 14.000 per liter adalah untuk pelaku usaha yang terdiri dari produsen dan pengecer. Harga Acuan Ekonomi adalah sebesar Rp 17.260 hasil kesepakatan Kementerian Perdagangan dan produsen minyak goreng. Selisih Harga Acuan Ekonomi dengan Harga Eceran Tertinggi akan dibayarkan oleh BPDPKS. Ketika kebijakan tersebut diluncurkan hanya dalam hitungan hari seluruh pengecer serentak menjual minyak goreng dengan harga Rp 14.000. Sedangkan saat membeli harga jual dari produsen lebih tinggi dari Rp 17.260.

Hal lain yang juga tidak terpikirkan adalah soal biaya angkutan yang bervariasi antar daerah. Biaya ini tentunya juga harus diperhitungkan saat minyak goreng tersebut sampai ke tangan konsumen akhir.

Faktanya terjadi perbedaan perhitungan antara nilai yang diklaim oleh Produsen dan Pengecer dengan yang hasil verifikasi oleh Surveyor. Dokumen invoice dan faktur pajak yang menjadi bahan audit surveyor akan berbeda secara kualitas dan kuantitas antara pasar tradisional dan pasar modern. Beberapa produsen juga melakukan operasi pasar secara langsung dari masing-masing pabriknya.

Hasil perhitungan dari surveyor tentunya harus konfirmasi ulang apakah sudah sesuai dengan data dan fakta yang dimiliki baik oleh produsen maupun pengecer modern.

Penutup

Terakhir, dua poin utama dari pembahasan di atas adalah:

  • Pemerintah harus segera menyelesaikan permasalahan ini karena dampaknya dapat menyangkut hajat hidup orang banyak.
  • Pelaku usaha di industri minyak goreng harus mendapat jaminan dan kepastian hukum dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Negara harus hadir untuk menyelesaikan permasalahan ini.
  • Pemerintah harusnya belajar dari masa lalu, agar jangan sampai endorsement dari Presiden RI pada Minyak Goreng Merah, hanya menjadi cerita babak kedua dari pengelolaan industri Minyak Kelapa Sawit di Indonesia.

Sampai saat terakhir tulisan ini dibuat (26/03/2024), Kementerian Perdagangan masih saja melakukan kordinasi antar instansi.

Sumber kutipan:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun