Pada bahan paparan BPS tampak harga rata-rata minyak goreng secara nasional pada pekan keempat Februari 2024 mencapai Rp17.710 per kg. Ini naik dari pekan sebelumnya yang hanya Rp17.691 per kg.
Kementerian Perdagangan RI Menunggu Apa Lagi?
Menjadi pertanyaan mengapa Kemendag mengulur-ulur pembayaran hutang rafaksi kepada peritel setelah kebijakannya didukung penuh ? Padahal semua persyaratan yang menjadi dasar bagi Kementerian Perdagangan menginstruksikan BPDPKS untuk membayar daya rafaksi sudah dimiliki, antara lain:
- Kejaksaan Agung sudah mengeluarkan Legal Opinion (LO) yang dijadikan alasan oleh Kementerian Perdagangan untuk menunda pembayaran dana rafaksi yang ditagihkan oleh peritel modern. Isinya jelas agar Pemerintah membayar dana rafaksi yang telah dibayarkan oleh peritel untuk mendukung program minyak goreng satu harga walaupun peraturan menterinya telah dicabut;
- SUCOFINDO selaku lembaga surveyor yang ditunjuk oleh Kementerian Perdagangan sudah mengeluarkan hasil perhitungan besarnya dana rafaksi yang dikeluarkan baik oleh pihak produsen maupun pihak retailer.
- Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP) sudah mengeluarkan pernyataan bahwa hasil perhitungan SUCOFINDO sudah menggunakan metodologinya sudah benar dan dapat digunakan sebagai dasar   dalam   perhitungan pembayaran dana rafaksi oleh BPDPKS;
- Kementerian Politik Hukum dan Keamanan RI telah menerbitkan surat rekomendasi agar Kementerian Perdagangan membayar dana Rafaksi dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada pengusaha di industri minyak goreng.
Beberapa Catatan Penting
Berdasarkan Permendag No 6 Tahun 2022 kebijakan HET untuk minyak goreng premium dengan harga Rp 14.000 per liter adalah untuk pelaku usaha yang terdiri dari produsen dan pengecer. Harga Acuan Ekonomi adalah sebesar Rp 17.260 hasil kesepakatan Kementerian Perdagangan dan produsen minyak goreng. Selisih Harga Acuan Ekonomi dengan Harga Eceran Tertinggi akan dibayarkan oleh BPDPKS. Ketika kebijakan tersebut diluncurkan hanya dalam hitungan hari seluruh pengecer serentak menjual minyak goreng dengan harga Rp 14.000. Sedangkan saat membeli harga jual dari produsen lebih tinggi dari Rp 17.260.
Hal lain yang juga tidak terpikirkan adalah soal biaya angkutan yang bervariasi antar daerah. Biaya ini tentunya juga harus diperhitungkan saat minyak goreng tersebut sampai ke tangan konsumen akhir.
Faktanya terjadi perbedaan perhitungan antara nilai yang diklaim oleh Produsen dan Pengecer dengan yang hasil verifikasi oleh Surveyor. Dokumen invoice dan faktur pajak yang menjadi bahan audit surveyor akan berbeda secara kualitas dan kuantitas antara pasar tradisional dan pasar modern. Beberapa produsen juga melakukan operasi pasar secara langsung dari masing-masing pabriknya.
Hasil perhitungan dari surveyor tentunya harus konfirmasi ulang apakah sudah sesuai dengan data dan fakta yang dimiliki baik oleh produsen maupun pengecer modern.
Penutup
Terakhir, dua poin utama dari pembahasan di atas adalah:
- Pemerintah harus segera menyelesaikan permasalahan ini karena dampaknya dapat menyangkut hajat hidup orang banyak.
- Pelaku usaha di industri minyak goreng harus mendapat jaminan dan kepastian hukum dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Negara harus hadir untuk menyelesaikan permasalahan ini.
- Pemerintah harusnya belajar dari masa lalu, agar jangan sampai endorsement dari Presiden RI pada Minyak Goreng Merah, hanya menjadi cerita babak kedua dari pengelolaan industri Minyak Kelapa Sawit di Indonesia.
Sampai saat terakhir tulisan ini dibuat (26/03/2024), Kementerian Perdagangan masih saja melakukan kordinasi antar instansi.