Mohon tunggu...
Wahyu AgungPermana
Wahyu AgungPermana Mohon Tunggu... Konsultan - Direktur Eksekutif Pusat Studi Pelayanan Publik

Pemerhati lembaga pemerintahan terkait pelayanan publik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pedagang Eceran (Retailer) dan Dinamika Birokrasi: Diskusi Pedagang Minyak Goreng

2 April 2024   09:11 Diperbarui: 2 April 2024   09:30 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini Presiden RI meresmikan Pabrik Pengolahan Minyak Makan Merah, yang diklaim memiliki kandungan nutrisi/gizi yang lebih baik dibanding minyak goreng sawit yang ada saat ini. Disisi lain, dari aspek produksi Minyak Makan Merah ini diklaim dapat mempercepat proses hilirisasi industri Minyak Kelapa Sawit (CPO).

Namun berbicara mengenai Industri minyak kelapa sawit ini, masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar mengingat komoditas Minyak Goreng adalah salah satu kebutuhan pokok bagi Masyarakat Indonesia.

Besarnya nilai transaksi dan produksi Industri Minyak Goreng dapat tercermin dari nilai produksi minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia. Mengutip dari pernyataan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, di majalah Hortus Archipelago, produksi CPO Indonesia tahun 2023 mencapai 50,07 juta ton atau naik 7,15% dari tahun sebelumnya. Pada tahun yang sama, konsumsi dalam negeri naik 23,13 juta ton atau kenaikan sekitar 8,90 persen dibanding tahun 2022. Sebaliknya untuk tujuan ekspor mengalami penurunan menjadi 32,21 juta ton atau 2,3% lebih rendah, terutama disebabkan oleh pasar Uni Eropa.

Hal ini seharusnya menujukkan hal yang positif bagi para pelaku dalam industri kelapa sawit di Indonesia, termasuk industri minyak goreng yang nampaknya masih banyak pekerjaan rumah seperti pada saat tahun 2022.

Mulai terjadinya praktek monopoli terhadap penentuan harga produk di Industri Minyak Kelapa Sawit dengan telah diputuskannya pelanggaran terhadap UU no. 5/1999 kepada 7 pelaku industri minyak goreng oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada bulan Mei 20231.

Selain itu, di sektor hilirnya terjadi kerugian bagi para pengusaha penjual eceran (Retailer) dimana terdapat kerugian akibat utang selisih bayar atau rafaksi minyak goreng sebesar Rp 344 miliar yang sampai saat ini masih belum dibayarkan.

Perihal rafraksi minyak goreng ini, akibat adanya beberapa hal antara lain:

Ketidakhati-hatian pembuat kebijakan c.q. Menteri Perdagangan.

Terlepas pada saat kondisi perekonomian yang tidak menentu, sepanjang tahun 2022, komoditas minyak goreng paling tidak telah membuat Kementerian Perdagangan menghasilkan banyak regulasi, diantaranya:

  • Program minyak goreng satu harga, Rp14.000 per liter, yang diberlakukan Menteri Perdagangan sebelumnya, Muhammad Lutfi, pada 18 Januari 2022 yang telah melibatkan para pelaku di industri minyak goreng, baik produsen maupun pengecer, diganti mendadak oleh
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit tanggal 26 Januari 2022
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah (Rp. 14.000) tanggal 16 Maret 2022
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Curah Rakyat tanggal 23 Mei 2022
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 41 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Minyak Goreng Kemasan Rakyat tanggal 5 Juli 2022 (Menteri Perdagangan RI sudah digantikan oleh Zulkifli Hasan)
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat tanggal 29 September 2022.

Kemendag Slow Respon (cq. Mendag)

Di sisi lain, BPDPKS (Badan Penyelenggara Dana Perkebunan Kelapa Sawit) sebagai institusi penanggung pembiayaan telah siap mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 433 Milyar yang dibutuhkan sebagai implikasi Peraturan Menteri Perdagangan mengenai Minyak Goreng yang telah ditetapkan. Namun pihak BPDPKS mengunggu perintah bayar dari Kementerian Perdagangan. Dana BPDPKS sendiri adalah dana yang dikutip setiap produsen CPO melakukan ekspor ke manca negara. Artinya dana BPDPKS bukanlah dana APBN namun dana untuk mendukung pengembangan industri minyak goreng di tanah air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun