Mohon tunggu...
Wahyu Amuk
Wahyu Amuk Mohon Tunggu... Jurnalis - Goresan Perantau

Journalist, Traveller, Blogger, Designer, dan penikmat kopi serta hujan dengan secarik kertas di penghujung petang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahasa Minangkabau Digilas Globalisasi

19 Mei 2016   18:43 Diperbarui: 19 Mei 2016   20:09 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com

Kedua, disorientasi kurikulum pendidikan. Tidak dipungkiri, sekolah-sekolah di daerah Minangkabau mulai dari SD, SMP, SMA, sudah jarang ada pelajaran khusus tentang bahasa daerah, Budaya Alam Minangkabau (BAM). Kalaupun ada, hanyalah sebagai muatan lokal (mulok) yang tidak lebih dari dua jam dalam seminggu. Padahal ini salah satu cara melestarikan bahasa Minangkabau, petatah-petitih, dan budayanya. Tidak jauh berbeda, di perguruan tinggi lebih memprioritaskan Bahasa Indonesia atau bahasa asing, karena dianggap lebih berharga dibandingkan bahasa daerah. Padahal, melestarikan bahasa daerah juga termasuk bagian urusan dan tanggung jawab orang yang perpendidikan tinggi.

Ketiga, kurangnya kesadaran generasi muda. Kini, generasi muda lebih percaya diri memakai bahasa asing, gaul, dan bahasa alay, dibanding Bahasa Minangkabau. Budaya dan kebiasaan anak muda telah menyingkirkan Bahasa Minangkabau. Mereka terhipnotis dengan kemewahan dari bahasa asing, bahasa gaul, alay yang berkembang dalam kesehariannya, yang kadang-kadang terkesan lebai. Kesadaran mereka hilang karena pengaruh life style. Padahal bahasa daerah adalah salah satu warisan budaya luhur mereka yang harus dilestarikan.

Sangat banyak faktor yang ikut menguliti Bahasa Minangkabau. Masyarakat Sumatera Barat (Sumbar), mayoritas sudah terjangkiti penyakit kemodernan, terutama kalangan remaja. Menyedihkan lagi, kini pelakunya bukan saja kalangan anak-anak dan remaja pewaris kebudayaan bangsa, namun orang dewasa pun sudah mulai ikut-ikutan. Mereka bangga pakai kata “aku dan kamu”, “gue dan lo” daripada kata “awak, aden, ambo, dan ang/angku”, mereka bangga memakai kata “pensil” dibanding “pituluik”. Alasannya, itu cara mengaktulisasi diri dengan life style terkini, agar terlihat modern, tidak dianggap kuno, dan tidak terlihat asing di tengah masyarakat.

Bagi yang tidak biasa, pasti cukup aneh mendengarnya bahasa Minangkabau 'gado-gado'. Tapi bagi penutur alai,hal seperti itu biasa, sebaliknya kata 'pituluik' itu yang dianggap aneh, karena itu bahasa zaman 'ketumba' yang sudah ketinggalaman zaman. Tentu saja itu ada sebabnya. Pertama, modernisasi dan globalisasi. Peradaban canggih dan modern tidak hanya membawa dampak positif, namun juga menimbulkan efek negatif pada bahasa penutur. Misalnya, akses komunikasi dan informasi, kini bisa menjadi binalu yang menggerogoti kesuburan Bahasa Minangkabau. Media mayoritas tidak lebih daripada agen 'makelar' budaya asing dan juga bahasa asing, dengan menginternalisasikan bahasa asing kepada masyarakat, sehingga bahasa daerah yang menjadi asing.

Kedua, eksistensi bahasa asing di Indonesia. Bahasa asing menjajah negeri ini sejak masa kolonial kian eksis dan lestari. Tempat kursus bahasa asing bertebaran di mana-mana. Modernisasi telah menuntut masyarakat menguasai bahasa asing agar dapat berkontestasi di dunia internasional, baik dalam aspek pendidikan, bisnis, ataupun politis. Memang ada sisi baiknya jika nanti dapat mengharumkan nama bangsa. Namun tanpa disadari semakin kita berhasrat dan pandai berbahasa asing, semakin kita terlihat bodoh pula untuk mengacuhkan bahasa daerah sebagai harta kekayaan bangsa.

Ketiga, dominasi kultural. Globalisasi telah menyemai benih-benih budaya barat ke berbagai belahan dunia, sehingga terjadi pertautan antara budaya lokal dan budaya global. Budaya asing yang telah mendominasi dalam kehidupan masyarakat modern, kemudian mengikis kebutuhan masyarakat terhadap bahasa daerahnya sendiri. Ini akibat mental inlander yang ditanam sejak masa kolonial, telah mendoktrin masyarakat untuk memandang rendah bahasa daerahnya sendiri. Pengaruh dominan kultur bahasa asing yang terus disemai ke segala penjuru oleh negara-negara maju, telah mencekik aliran nafas Bahasa Minangkabau. Semakin sedikit masyarakat yang menggunakan Bahasa Minangkabau, maka suatu nanti jangan harap anak-cucu kita akan dapat bertegur-sapa dengan bahasa luhur daerahnya sendiri.

Jika penuturnya sendiri tidak mampu menghargai bahasanya sendiri, jangan harap bangsa lain yang sudi menghargai bangsa ini. Tentu tidak cukup hanya berbekal dari tangan serta pemikiran masyarakat saja untuk melestarikan bahasa Minangkabau. Kontribusi pemerintah, baik pusat maupun daerah, patut mengambil peran. Diharapkan pemerintah dapat mengubah orientasi kurikulum pendidikan untuk menyelaraskan antara modernitas dan tradisionalitas, antara bahasa global dan bahasa lokal, antara pendidikan dan kebudayaan.

Pihak media, baik berskala lokal maupun nasional harus berpartisipasi untuk resosialisasi bahasa daerah. Media daerah Sumbar dapat memberitakan atau memuat isu-isu terkait pelestarian bahasa Minangkabau, serta menyertakan bahasa Minangkabau dalam program unggulannya. Peran media sangat penting dalam mengubah pola pikir masyarakat untuk tidak terlalu xenosentris terhadap bahasa asing. Misalnya, disediakan rubrik atau halaman khusus untuk memuat bahasa Minangkabau.

Selain itu, para sastrawan dan kebudayaan harus bisa berpartisipasi dalam membangkitkan Bahasa Minangkabau, melalui karya-karyanya. Para orangtua harus ikut bertanggungjawab, pihak tetua adat, datuak, ninik mamak, kepala suku (kaum), kepala Kantor Adat Nagari (KAN), Lembaga Kenagarian Adat Minangkabau (LKAM), dan dukungan kooperasi dari berbagai pihak yang merasa 'masih' mencintai bahasa daerah, harus bertanggungjawab untuk melestarikan Bahasa Minangkabau. Harapannya, tentu harta karun bangsa ini dapat terus hidup. Jika tidak, Bahasa Minangkabau lambat-laun hanya tinggal nama.***

Dimuat pada Harian Metro Andalas, 21 Mei 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun