Program pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
1. Kartu Sakti
Semasa Jokowi menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, kita sudah sering melihat beberapa kartu sakti ala Jokowi diantaranya Kartu Jakarta Pintar (KJP) atau Kartu Jakarta Sehat (KJS). Tren kartu ini berlanjut setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia yang mulai terhitung sejak akhir Oktober 2014. Awal munculnya kartu ini menimbulkan kegaduhan terutama dibagian legalitas katu dan sumber anggaran yang digunakan. Ketika Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Keluarga Sejahtera banyak kalangan menentang kartu ini karena belum ada anggarannya artinya Joko Widodo melanggar undang-undang tentang APBN 2014. Kegaduhan politik makin menjadi tatkala tokoh-tokoh sentral di lingkungan istana seperti Menteri Sekertaris Negara, Menteri Keuangan, bahkan hingga Wakil Presiden tidak satu suara mengenai sumber dana yang digunakan untuk mencetak kartu dan sumber anggaran untuk biayanya. Sempat tercetus dari mulut Mensetneg Pratikno yang mengungkapkan bahwa sumber dana yang digunakan adalah CSR dari Bank BUMN, hal ini langsung dikritisi oleh Yusril selaku pakar hokum tata Negara dimana peruntukan dana CSR bukanlah untuk kartu seperti itu. Hal lain diungkap dari Kartu Sakti Jokowi ini adalah pengadaan kartu yang tanpa melalui tender melainkan langsung penunjukan ke satu pihak juga sangat disayangkan dimana mengabaikan asa akuntabilitas dan transparansi.
2. Dana Desa
Sesuai dengan amanah undang-undang tentang Desa, tiap-tiap desa akan diberikan dana transfer langsung dari pusat sebesar Rp 1 Milyar. Namun Jokowi sesumbar pada saat debat Capres-Cawapres bahwa dana desa senilai Rp 1 Milyar dirasa kurang. Oleh karenanya Jokowi berjanji untuk menaikkan dana desa yaitu sebesar Rp1,4 Milyar per desa/tahun. Namun pada kenyataannya ditahun 2015 ini jumlah dana yang didapat tidak sebesar yang dijanjikan. Salah satu contohnya di Kabupaten Blora, rata-rata tiap desa menerima Rp 250 juta- Rp 500 juta tiap desa/tahun. Dana sebesar itupun masih belum bisa optimal terserap dikarenakan dana baru bisa cair pertengahan tahun akibat belum siapnya SDM dan prosedur yang cukup panjang.
3. Pertanian
Dengan visi swasembada beras, Jokowi serius menata pengelolaan pertanian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya proyek waduk yang dicanangkannya di berbagai daerah di Indonesia. Tak sampai disitu, Jokowi melalui Kementerian Pertanian juga memperbaiki saluran irigasi dan membuat instalasi irigasi baru guna mencapai target swasembada beras. Ditambah lagi dengan adanya bantuan traktor kepada kelompok tani dirasa sangat jelas arah kebijakan Jokowi di bidang pertanian ini.
4. Subsidi
Ibarat pisau bermata dua, disatu sisi presiden berkeinginan untuk mengurangi beban APBN akibat adanya subsidi. Disisi lagi akan mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat akibat mahalnya bahan bakar yang mengakibatkan harga produktifitas dan harga jual melambung. Hal ini benar adanya, terlepas dari tekanan ekonomi global pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terus menurun akibat lesunya pasar. Dana subsidi yang harusnya lari ke sector insfrastruktur nampaknya juga belum bisa terlihat hasilnya, yang ada justru malah utang luar negeri yang makin bertambah baik ke ADB maupun ke pemerintah Tiongkok. Utang-utang ini dikatakan sebagai alat mendongkrak pertumbuhan dengan cara mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia, namun lagi-lagi masih belum terlihat gamblang rasanya.
5. Hukum
Diawal memerintah, Jokowi terlihat menjanjikan mengenai masalah penegakan hokum di Indonesia bahkan ratingnya melebihi presiden-presiden sebelumnya. Hal ini tercermin dari penegakan hukuman mati bagi para terpidana kasus narkoba berat seperti kelompok Bali Nine. Walaupun mendapat tekanan yang cukup dasyat, nampaknya pemerintah begitu tegas menegakkan kedaulatan hokum di Indonesia. Namun, beberapa kekurangan pasti ada, dimana masih terjadi pelemahan institusi khususnya lembaga anti korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal masih banyak kasus-kasus besar yang harusnya bisa segera ditangani oleh KPK seperti Hambalang, BLBI, Century, dan APBD Jakarta.
6. Ekonomi dan Perdagangan
Dibidang ekonomi saya rasa pemerintahan Jokowi bisa dibilang paling gagal dan jeblok. Sepuluh bulan memerintah cadangan devisa terkuras habis bahkan ada sumber yang mengatakan devisa RI hanya tersisa 70 juta dollar saja. Pengurasan devisa ini bukan tanpa sebab, mengigat masih tingginya impor BBM serta melemahnya nilai tukar Rupiah dimata asing juga mengakibatkan tergerusnya devisa kita. Sektor ekspor perdagangan yang seharusnya menjadi pendongkrak devisa ternyata belum mampu bekerja secara optimal. Menurut saya ini merupakan imbas dari naiknya harga BBM yang pasti juga menaikkan ongkos produksi sehingga membuat harga barang kita kurang kompetitif dipasar global. Seharusnya pemerintah memanfaatkan potensi pasar dalam negeri yang begitu besar ditengah krisis yang melanda dunia ini. Namun langkah kongkrit ini juga belum dilaksanakan dengan baik, padahal jikalau mau sebenarnya pasar dalam negeri kita juga sudah cukup untuk menyerap bahan produksi domestic tanpa harus impor yang tentunya juga menguras devisa.
7. Revolusi Mental
Program ini yang selalu didengung-dengungkan nampaknya juga belum jelas seperti apa teknisnya. Menko PMK yang seharusnya membidangi revolusi mental ini juga sepertinya kurang mengerti tugasnya sebagi menteri coordinator. Hal ini terbukti diaman belum ada paket kebijakan dari pemerintah yang menuju kearah revolusi mental ini. Niat hati membatasi subsidi kemudian mengalihkan ke sector yang lebih produktif mulai terganggu karena kartu sakti Jokowi membutuhkan anggaran yang cukup besar. Padahal jikalau memang melakukan revolusi mental, harusnya pemerintah tak lagi memberi rakyat berupa uang tunai karena ini dinilai ditak mendidik dan cenderung membuat malas untuk bekerja. Inilah kebiasan kebijakan revolusi mental ala Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H