Mohon tunggu...
WAHYU TRISNO AJI
WAHYU TRISNO AJI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat datang. Dalam pemikiran sebebas mungkin dalam ruang prespektif bahasa. Yang dimana sejalan dengan rasio dan empirik yang kritik. Mari berkontribusi untuk mengkonstruksi paradigma berfikir menjadi lebih ambivelensi terhadap kehidupan yang penuh jawaban yang bercabang

Selalu sehat para kaum berfikir

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ecobodyisme: Kita adalah Alam itu Sendiri

3 November 2024   23:48 Diperbarui: 1 Desember 2024   16:36 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : FBC / Pinterest

"Dalam konsep Ecobodyisme yang menerangkan soal kesatuan manusia dengan tubuh maupun alam. Menjelaskan bahwa Kita semua adalah bagian dari alam itu sendiri sadar atau tidak"

Saya memahami secara sadar kalimat ini. Bagi kebanyakan orang mungkin akan memikirkan kita jauh dari alam. Dimana, alam yang ada dalam fikiran banyak orang adalah persoalan hutan, sungai, langit-langit yang berisikan bulan bintang, matahari, dan bahkan persoalan yang menenangkan seperti gunung-gunung dan bukti yang sering kita naiki. 

Seringkali kita berfikir, bahwa alam dan kita berada pada titik pemisah atau dikotomi, dimana kita adalah manusia sebagai subjek dan alam adalah objek. Kita seringkali melihat alam sebagai pengetahuan dan memperoleh alam sebagai kajian. Melepas alam artinya menjadikan alam sebagai objek pengetahuan. 

Sejauh ini, hal tersebut dianggap normal saja. Banyak orang melekatkan diri pada pemikiran bahwa alam dan manusia terpisah, alam dan kita sebagai manusia berada pada titik perbedaan. Namun nyatanya, kita adalah alam itu sendiri, kita adalah bagian dari alam yang tak pernah menyadari itu semua. 

Alasannya apa?, karena kita hidup dalam ruang alam yang kita berani ubah sebagai tempat tinggal kita. Kemudian membuat satu jarak antara kita dalam pengetahuan kita dan alam. Kita menganggap alam adalah tempat jauh dari ruang tempat kita tinggali, akan tetapi, kita tidak pernah sadari bahwa tempat kita berani mengucapkan jarak dan mendikotomi alam sebagai objek secara tak langsung menunjjukan kita berada di alam itu sendiri. 

Kita tak pernah terlepas dari alam, kapanpun dan di manapun. Apa yang kita ucapkan tentang alam adalah sebuah definisi yang baku dan tak pernah ada pertanggungjawaban. Ketika alam dijadikan objek dan kita sendiri lah objek, maka akan muncul pertanyaan, sejak kapan alam menjadi objek, sedangkan kita sendiri hidup di dalam alam itu sendiri. Oleh karena itu, ada konklusi yang dilahirkan dari premis-premis tersebut bahwa kitalah bagian dari alam yang tak bisa terpisahkan. 

Ecobodyisme merupakan konsep pemahaman untuk kita mulai akrab dengan alam. Bahkan, sama halnya kita hidup bersama alam dan berdampingan. Konsep Ecobodyisme menunjukan bahwa alam dan manusia tidak terpisah, melainkan mereka berada pada satu kesatuan, lebih tepatnya manusia bagian dari alam yang tak pernah sama sekali di sadari. 

Manusia, atau sebut saja kita adalah bagian tubuh dari alam. Seperti yang dijelaskan dalam konsep utama dalam Ecobodyisme, bahwa manusia adalah makhluk yang mengenal dengan kesadaran apa yang melekat dalam diri mereka, secara sadar melekat dalam arti bahwa baik persoalan tubuh maupun alam adalah bagian diri aku dan saya yang utuh dan total. Kita semua tidak terpisah dari alam, melainkan kita lah alam itu sendiri. 

Kita mengenal alam, seperti apa kita mengenal dunia ini. Ketika mendefinisikan alam sedemikian lengkap. Itu artinya, kita membatasi ruang alam pada definisi kemampuan kita yang terbatas. Dalam konsep Ecobodyisme bahwa secara sadar kita adalah utuh bersama alam tanpa ada ruang perbedaan jauh.

Lalu kemudian Kita melanjutkan ke dalam bahwa kita sendiri lah mengetahui, ketika subjek sebagai diri sendiri membuat satu definisi, itu artinya kita membuat batasan-batasan pada pengetahuan tersebut, ini berlaku kepada alam yang sering kita dudukan kepada satu buah definisi untuk memudahkan memahami alam yang komplek. Sehingga implikasi nya adalah alam yang kita jadikan objek adalah alam versi pengetahuan yang kita cercap melalui pengalaman inderawi serta terkonfirmasi oleh rasionalitas. Namun jika dipertanyakan, apakah Benar-benar pengetahuan kita soal alam adalah kebenaran real dari alam itu sendiri?, jelas jawabannya "tidak" Sama sekali. 

Karena apa yang kita batasi pada alam, sama halnya kita memenjarakan alam pada ruang tertentu yang kita anggap benar. Mari melihat dengan lebih kompehrensif mana yang lebih penting, kita atau alam ini sendiri?. Kita adalah mahkluk dari sekian banyak mahkluk yang tak terpisah dari alam dan membutuhkan alam sebagai tempat tinggal dan hidup. Namun alam tidak sama sekali membutuhkan manusia untuk eksis, bahkan ketika mereka diberikan labelisasi pengetahuan untuk eksis, itu membuat mereka terpenjara, yang akhirnya mereka terjebak pada dirinya sebagai objek. 

Ini sangat rumit, namun sekaligus menjadi penunjuk fakta nyata, bahwa kita tidak pernah melepaskan diri dari alam. Kita sendirilah bagian dari alam dan alam tidak atau bahkan tidak membutuhkan kita. Alam dimanapun itu, alam jagat raya sampai dengan atom kosmik tidak membutuhkan sama sekali manusia. Alam selalu bekerja dengan mekanisme nya sendiri sehingga alam punya kausalitas, kemudian manusia hadir di dalam alam bisa memberikan dampak dari kausalitas-kausalitas hukum alam. Seperti percepatan terjadinya longsor, banjir, kerusakan alam, kebakaran yang mana itulah perbuatan manusia yang dikenal dengan kerakusan dan keangkuhannya. Namun kejadian-kejadian itu tidak mempengaruhi alam sama sekali. Alam yang menghendaki keputusan apa yang akan terjadi, manusia hanya memperbesar akibat dari mekanisme alam. Kemudian pada konsep lain seperti fenomena tsunami, gempa, dan bahkan meteor jatuh ke bumi bukan bagian dari keterlibatan manusia, namun menunjjukan bagaimana alam punya mekanisme sendiri bertindak. 

Alam selalu punya caranya sendiri untuk eksis, meskipun manusia tidak diperlukan di sana. Begitu misteri dan penuh rahasia dari alam, manusia seringkali menginterpretasikan sebagai bentuk ketidakpastian kehidupan. 

Manusia, hidup berdampingan dengan alam yang bagi manusia memahami alam sebagai ketidakpastian, padahal jelas kita semua adalah ketidakpastian itu sendiri. Ketika ruang ketidakpastian terhadap alam kita persilahkan, itu bukan menandakan hal kebenaran. Melainkan itulah kebenaran sejauh yang di ketahui dan dikenali oleh manusia memahami alam, secara tak langsung pun, ketika manusia mencoba berdamai dengan alam, sekaligus menganggap ketidakpastian terhadap alam, maka itu sama halnya menjelaskan persoalan alam pada keterbatasan mengenai alam yang tidak pasti. 

Jelas, menyatu dengan alam, atau memahami alam artinya kita memahami ketidakpastian kemudian jalani semua ketidakpastian itu dalam keberanian, tidak pernah takut sama sekali untuk mendobrak pengetahuan yang lebih luas. Manusia akan terus mendapatkan ketidakpastian, itu menandakan manusia yang terbatas mengetahui sebuah objek. Ketidakpastian adalah wujud nyata dari keterbatasan manusia memahami alam, dan kita semua harus sadari betul bahwa itulah kemampuan kita, lalu kemudian menerima dan menghadapi semua seperti bagaimana tujuan kita hidup bersama alam tanpa harus sombong.

KONKLUSI

Jadi sangat jelas, siapa kita semua dan apa yang kita sombongkan sekarang?. Kita menganggap bentuk dikotomi antara manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek. Namun kita tidak pernah menyadari apa kontribusi kita terhadap alam ini. Kita semua hanyalah perusak yang megaku-ngaku menjaga alam, seringkali apa yang kita ciptakan atas nama menjaga alam merupakan langkah lain kita merusak alam itu sendiri. 

Jelas satu fakta yang tak bisa kita bantah adalah, kita sangat-sangat membutuhkan alam untuk hidup, namun alam jelas tidak sama sekali membutuhkan kita untuk tetap eksis. Jadi sangat jelas, siapa yang butuh dalam konteks yang begitu real ini. Dan mari memulai merefleksikan diri dalam keadaan yang lebih tegas dan bijak seperti apa selayaknya kita hidup dalam rumah yang kita kenal sebagai alam ini.

Sumber bacaan;

1. Setio, Robert. "DARI PARADIGMA "MEMANFAATKAN" KE "MERANGKUL" ALAM." Gema Teologi 37.2 (2013).

2. Kartikasari, Yasmin. "Alam, Manusia, Dan Spiritualitas." Jurnal Sosioteknologi 10.24 (2011): 1157-1167.

3. Simanullang, Gonti. "Spiritualitas Ciptaan dan Hidup Ugahari." Logos 2.1 (2003): 26-48.

4. Montefiore, Simon Sebag. Speeches that changed the world: The stories and Transcripts of the moments that made history. ESENSI, 2006.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun