Sekolah mulai berlomba-lomba menerima murid baru, tetapi sekolah lupa dengan tujuan utamanya ialah mencerdaskan kehidupan banga. Malahan dari penerima murid baru mereka menseleksi murid yang memang sesuai dengan kriteria mereka sendiri. Jangan tanyakan apakah KKN (korupsi,kolusi, nepotisme) masih berlaku di sekolah saat penerimaan siswa baru?. Karena untuk menjawab itu semua kita bisa melihat secara nyata bagaimana sekolah mempermainkan startegi yang dibuat demi kepentingan, bukan murni tujuan yang telah mereka berikan sebagai media mencerdaskan anak bangsa.Â
Terlalu banyak hal baik yang bisa diceritakan di sekolah. Seperti halnya sekolah menghormati Guru, murid diajarkan disiplin mengerjakan tugas, diajarkan membaca, menulis ataupun mendapatkan hal yang luar biasa lainnya di sekolah. hal ini tak bisa dipungkiri dan dibantah kebenaran nya. Tetapi kebaikan ini mulai diproklamasikan dimana mana dan kemudian sekolah dengan bangga menerapkan hukum mereka sendiri (sebagian mereka menjual aturan sekolah demi dipatuhi, padahal itu salah satu cara sebagian sekolah menciptakan ilusi demi membentuk kepentingan) . Jika manusia sudah dibanggakan dengan pujian, maka sekolah akan dibanggakan oleh prestasi.Â
Begitu lah dalam penerimaan siswa baru yang cenderung menerima orang orang pintar dan mengeliminasi orang yang tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh Sekolah. Sekolah ingin murid yang diterimanya harus pintar, nurut, patuh akan aturan. Kriteria seperti ini yang dicari oleh sekolah sehingga membuat syarat masuknya murid untuk belajar disana, bukan murni sekolah menerapkan Essensialnya mendidik untuk mencerdaskan anak bangsa, Melainkan menjalankan kepentingan yang dibuat demi dirinya sendiri.Â
Dalam hal ini menjadi polemik yang cukup berkepanjangan untuk di tanyakan apa tujuan sekolah menyimpang dari tujuan sebenarnya.Â
Dalam aturan dibuat oleh sekolah, pastinya murid harus mentaati itu semua sebagai bentuk mereka berada dalam lembaga yang jelas sudah diatur semua kebijakan dari pemerintah. Tetapi ada pula sekolah yang agresif membuat kebijakan dengan egoisme nya sendiri (entah dengan kepentingan dan tujuan apa). Tetapi bukan berarti murid hanya mengamini tanpa mempertanyakan segala bentuk aturan yang dibuat sekolah tersebut. Seperti halnya memotong rambut siswa, memaksakan murid untuk membayar uang sekolah yang padahal murid kurang mampu, ataupun yang parah lagi menjual nilai hanya dengan sejumlah uang.Â
Jika hal demikian, apakah sepantasnya kita menuntut agar sekolah bisa bijaksana lagi untuk bisa kembali ke tujuan murni dalam pendidikan, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Ataukah kita hanya terdiam melihat fenomena yang semakin kesini sekolah menjadi hakim bagi para murid yang memang tidak ada kuasa untuk mengetahui hal yang memang mereka perlu ketahui.Â
Mempertanyakan segala peraturan oleh para murid bukan berarti melawan guru, ataupun menjadi seorang yang tidak percaya akan pendidikan. Melainkan pertanyaan yang timbul dalam hal hal yang ganjil dibuat oleh sekolah perlu dipertimbangkan, hingga dipertanyakan Kevaliditasanya sebagai lembaga pendidikan. Apakah sekolah masih murni menjalankan tugasnya atau tidak, apakah sekolah mulai berbisnis dengan murid atau tidak, ataupun apakah guru dan sekolah sudah mulai membentuk alienasi keuntungan mereka sendiri?. Hal ini menjadi pertanyaan yang terus muncul dari bagaimana fenomena sekolah yang mulai berubah haluan dari tujuan murninya sendiri.Â
Saya sendiri setuju sekolah harus tetap ada, tetapi saya sendiri ingin kebijakan yang egoisme yang dibuat oleh guru maupun sekolah demi kepentingan tersendiri tersebut dihapuskan. Jangan sampai kebijakan yang dibuat sekolah memberikan beban pada murid, sehingga mereka takut masuk sekolah. Karena ancaman dari guru maupun aturan-aturan sekolah yang dibuat terlalu berlebihan.Â
Sekolah hadir bukan hanya mengurusi kecerdasan saja. Melainkan ada bentuk bantuan lain lagi sekolah untuk memberikan fasilitas pada murid-murid yang memang memiliki ekonomi menengah bawah. Jika sekolah memang tidak mampu membantu, setidaknya jangan mencengkik murid dengan paksaan harus membeli sesuatu ataupun menuntut untuk membayar hal hal yang membuat keluarga dari murid menjadi terbebankan.Â
Jangan sampai murid menjadi depresi akan tekanan dari sekolah atas perintah membeli hal hal yang memang keluarga dari sik murid tidak mampu beli. Jangan sampai sekolah menciptakan aturan yang membunuh murid nya denganmelepaskan pendidikan (berhenti sekolah). Rasanya jahat sekali jika sekolah sedemikian memaksakan kehendak murid atas aturan yang memang tidak mampu mereka lakukan. Untuk mengulang kalimat yang sama, jika sekolah tidak mampu memberikan bantuan pada muridnya, Setidaknya jangan berikan beban pada murid mengenai hal yang memang tak mampu mereka miliki.Â
Saya akan memuji sekolah jika sekolah lebih menyamaratakan semua murid tanpa ada pembentukan kasta dari segi kecerdasan, kaya, miskin hingga dari keluarga bermasalah. Murid berhak mendapatkan pendidikan sama rata, tanpa membedakan dari segi apapun, mereka berhak mendapatkan pendidikan. Kemudian, tugas Sekolah jangan ikut campur untuk menciptakan suasana kelas yang merusak mental murid. Sekolah harus bersifat netral pada setiap murid tanpa harus menciptakan perbedaan didalamnya. Termasuk dalam prolem ini diperlukannya peran guru untuk hadir mengakomodasi kebutuhan dari siswa tanpa  Membeda-bedakan muridnya. Sekolah menjalankan tugasnya sebagai media menerapkan pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.Â