Deontologi melarang seseorang untuk berbohong, apapun alasan dan kondisi. Dalam politik sendiri pastinya berbohong merupakan trik yang selalu dipelajari sebagai media berpolitisasi. Ironi memang, tetapi dengan seperti itu manusia bisa mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan yang bisa membuat mereka menjadi tokoh yang selalu dikagumi keberadaan nya.Â
Hukum mahkluk sosial berlaku, tapi tidak dengan hukum moralitas yang menjadi bahan diskusi saja, namun dalam segi praktik dimarginalisasikan oleh keadaan yang diamini oleh beberapa kalangan.Â
Deontologi Kant membawa manusia kedalam wujud manusia yang ideal, melakukan kewajiban sesuai dengan kewajiban itu sendiri. Tanpa imbalan, tanpa belas kasih, dan tanpa hati nurani dari suguhan doktrin yang dipelajari sebagai yang lebih pasti.Â
Deontologi lebih memandang sesuatu itu berdasarkan seharusnya dilakukan tanpa pengecualian dan wajib dilakukan tanpa ada hatapan, kewajiban tersebut berdasarkan kewajiban itu sendiri tanpa ada hal yang lain. Dibarengi dengan kehendak baik dan niat baik untuk melakukan hal tersebut. Hukum moralitas berlaku jika sintetik antara beberapa variabel tersebut elaborasi dengan kewajiban itu sendiri.Â
Menjadi pertanyaan besar ialah dalam politik adakah yang bisa bertindak sesuai dengan kewajiban maupun keharusan sesuai kriteria deontologi di dalam politik kekuasaan?. Tidak ada jawaban yang pasti dari pertanyaan tersebut. Sebab manusia bukan alat politi, melainkan politik adalah bagaimana manusia bisa hidup sejahtera.Â
Politik bukan membuat manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), melainkan politik membuat manusia tersadar akan martabat diri mereka harus saling menghargai, kemanusiaan hingga kewajiban yang seharusnya mereka jalani dengan murni niat baik itu sendiri.Â
Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh tingkah laku menusia lain dan alam. Keadaan seperti ini membuat manusia harus peduli akan sesama, sehingga etikanya sendiri pula berlandaskan pada hukum universal. Kekuasaan pula bernuansa memberikan arahan pada tujuan yang sama. Sehingga tindakan seseorang harus sama dengan yang universal tersebut.Â
Politik bukaan jelmaan hantu yang harus diwaspadai ditakuti setiap mendengar namanya, stigma pada politik sudah melekat dalam diri nya sebab aktor politik bertindak tidak bermoral. Mereka (aktor politik) lebih bertindak dengan kemauan dan hasrat untuk memenuhi tujuan yang bukan dari kewajiban mereka.Â
Memilih untuk melanggar kewajiban demi hasrat yang bermunculan dari egoisme. Manusia adalah serigala bagi sesama memang tidak salah kata dari yang diucapkan oleh Thomas Hobbes, namun Rousseau juga tidak salah dengan argumen bahwa manusia juga merupakan mahkluk yang baik.Â
Definisi yang cukup melegakan dalam bentuk paradoks diri manusia sendiri. Politik bagai dua hal paradoks tersebut, dipandang buruk satu sisi karena aktor politik yang terjerumus akan hasrat kekuasaan, dan baik dalam sisi subtansi manusia membutuhkan manusia antar sesama untuk bisa menjalani kehidupan sejahtera.Â
Prilaku politik setiap orang mempengaruhi definisi politik itu sendiri, etika politik mulai memberikan penilaian dan demarkasi dalam wujud yang cukup parsial didalam kehidupan. Deontologi pula hadir sebagai juri yang harus memutuskan selayak apa politik itu diantusias, kemudian diberikan dorongan dalam kesadaran akan kewajiban.Â