Sangat luas biasa jika itu semua terjadi di dalam dunia nyata, pendidikan di teoritis dengan citra tanpa cacat. Pemerintah mengakomodir pengajar maupun pelajar, guru mengakomodir pelajar agar mendapatkan pengetahuan yang hal tersebut merupakan hak dari murid tersebut.
Namun nyatanya dalam realitas semua hanyalah ilusi, semua hanyalah skema yang di buat terlalu sempurna untuk dijalankan. Kecacatan sebagai resistansi hadir tanpa di hindari, semua yang dijadikan dalam teori yang cukup sempurna hanyalah realitas palsu.Â
Pendidikan di Indonesia yang katakan saling mengakomodir hanya sebuah wacana dalam teks atau omongan saja. pendidikan di Indonesia nyatanya hanyalah mengurungkan sebagian pihak (tidak semua). Pihak tersebut diuntungkan demi kepentingan tertentu, baik itu kekuasaan maupun kepentingan lainnya yang menguntungkan mereka.Â
Pelajar yang ingin menuntut hak mereka mulai rapuh karena guru yang hanya mengajarkan apa yang diajarkan disekolah sesuai dengan kurikulum pemerintah. Hal itu sangatlah bagus, namun terkadang kurikulum yang dibuat oleh pemerintah bersifat baku, dan hanya bersifat formalitas saja. Ketika teori yang diajarkan disekolah coba untuk di implementasikan di dalam kehidupan, ternyata jauh berbeda.Â
Pelajar diajarkan sesuai yang begitu sempurna tanpa celah koflik untuk mereka coba atasi, mereka (pelajar) diajarkan bagaimana sesuatu yang sempurna dalam teori itu di hafalkan, sehingga disaat pelajar mampu menghafal dan menyetor ke pengajar.Â
Maka mereka mendapatkan nilai sesuai dengan hafalan yang mereka mampu kuasai. Namun, di saat pelajar tersebut mempraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari mereka, ternyata hafalan tersebut tidak berguna, tepatnya mereka sama saja dengan orang-orang yang tidak bersekolah, mereka harus banting tulang, tanpa harus kritis dan kerja cerdas dalam menjalankan segala aspek kehidupan.
Hal inilah menjadi kelemahan pendidikan di Indonesia, sesuatu yang sempurna dalam bentuk teori harus di hafal kan tanpa harus mengkritisi. Pendidikan bukan hanya tentang sistem yang harus di patuhi, bukan hanya tentang rajin sekolah dan mengerjakan tugas. Melainkan tentang hal lainnya, seperti bekerja sama, emosional, toleransi dan karakteristik yang lainnya yang bisa pelajar terapkan di dalam kehidupan.
Tak ada salahnya untuk menghafal, dan tak ada salahnya pengajar mengajarkan hanya sebatas kurikulum pemerintah. Pemerintah pun tidak salah pula menyamakan persepsi dengan membuat kebijakan yang dianggap mampu untuk mengakomodir pendidikan hingga menuju visi misi pendidikan yang di impikan.Â
Namun di balik ketidaksalahan 3 aktor tersebut. Maka pastinya tidak salah pula baik pelajar, pengajar maupun pemerintah melakukan sistem pendidikan yang kritis. Artinya pendidikan tersebut di basiskan pada kemampuan tanpa harus membatasi oleh kebijakan. Pemerintah membuat kebijakan dengan Melihat berbagai aspek kebutuhan dalam pendidikan, bukan hanya tentang kepentingan ataupun keuntungan.Â
Pemerintah membuat pendidikan lebih maju lagi bukan hanya tentang nilai, melainkan kualitas lainnya pula di tingkatkan dengan mengaktifkan kebebasan para pelajar dan pengajar untuk berinovasi dan berkreasi sesuai keinginan. Dan tugas pemerintah saat itu adalah memenuhi kebutuhan tersebut agar visi misi pendidikan bisa cepat tercapai.
Pemerintah mengambil peran sebagai sosok penting di dalamnya. Sosok yang mampu memberikan setiap kebutuhan pada pelajar ataupun pengajar untuk melakukan kreasi apapun selagi itu tentang kemajuan pendidikan.Â