Mohon tunggu...
wahyu agung
wahyu agung Mohon Tunggu... pegawai negeri -

hanya menanam benih kata, berharap tumbuh, segar, ranum, dan lebat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Koper Hitam

28 Oktober 2013   07:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:57 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Koper hitam isi 100.000 dollar!" perintah Jendra kepada Milka, "jangan sampai kurang" lanjutnya. Milka mengeluarkan uang kertas pecahan 100 dollar dari dalam brankas, lalu menghitungnya dengan money counter portable. Setiap satu gepok uang, yang entah diperoleh dari korupsi proyek pemerintahan yang mana, ia hitung dua kali untuk memastikan jumlahnya. Semuanya ia lakukan tanpa banyak bertanya. Sementara Jendra mengeluarkan kotak cerutu dan mulai merokok.

Bau tembakau menyebar ke seluruh ruangan. Milka sebal, asap segala jenis rokok dan cerutu membuat dadanya sesak. Tetapi tentu saja ia menyembunyikan ketidaksenangannya itu, kalau Jendra, bosnya yang juga pemilik perusahaan tahu mungkin ia akan dicemooh.

"ini pak, jumlahnya tepat 100.000 dollar" kata Milka sambil meletakkan koper hitam di atas meja kerja Jendra. Milka melakukannya sambil tetap berdiri, ia ingin bisa segera keluar dari ruangan. Jendra yang semula duduk menghadap jendela memutar kursinya perlahan. Ia menghisap cerutu sekali lalu mematikan sisanya pada asbak di meja.

"duduklah," kata jendra pelan

Milka terlihat ragu-ragu.

"sudah tuli kamu! duduk!" Jendra membentak.

Milka segera menggeser kursi dan duduk. Ia sempat kaget tapi beruntung sebelum Jendra kembali membentaknya handphone Jendra berdering. Milka mendapatkan waktu untuk mengatur nafas.

"haloo pak mentri, kabar baik dong? gimana apel malangnya sudah sampai?" Jendra berbicara di handphone dengan nada santai. Mudah sekali bagi Jendra merubah nada suara meski baru saja berbicara keras kepada Milka.

Selagi Jendra berbicara di handphone, Milka menyamankan duduknya. Perlahan hawa dingin AC terasa membelai kulitnya. Sejak tadi ia terlalu tegang sampai-sampai dinginnya ruangan baru terasa sekarang. Ruangan tempat ia berada terletak di lantai 15, ukurannya tidak terlalu besar untuk ruang kerja pemimpin perusahaan besar. Isinya pun tidak penuh, hanya ada sebuah meja jati sebagai meja kerja, lalu disebelahnya terdapat satu set sofa bergaya minimalis dengan kulkas kecil disudutnya, dan di belakang meja kerja terdapat brankas yang tertanam dalam tembok. Hanya Milka dan Jendra sendiri yang tahu kode kuncinya.

Jendra masih terus berbicara di handphone. Sesekali Milka memperhatikannya berharap mendapat isyarat yang menyuruhnya keluar. Lima belas menit berlalu dan isyarat yang diharapkannya tidak juga muncul. Jendra selesai dengan pembicaraan handphonenya setengah jam kemudian.

"jadi jumlahnya sudah pas?" tanya Jendra sambil membuka koper hitam itu

"iya pak, tepat 100.000 dollar" jawab Milka

"bagus, jangan lupa catat seperti biasa!" Jendra menutup kembali koper hitam tanpa menghitungnya lagi

"kali ini untuk siapa pak?"

Jendra memandang Milka lantas menjawab

"pre...si...den..."

Mata Milka membelalak mendengar jawaban itu. Ia sempat ingin mengkonfirmasi kebenaran peruntukan uang dalam koper hitam itu tetapi kemudian mengurungkannya. Jendra menangkap keraguan Milka.

"negaramu tercinta ini negara maling kalau kau pengen tau, " kata Jendra kemudian

"pejabatnya, mentrinya, bahkan presidenmu itu maling" lanjutnya.

"dollar yang kamu hitung tadi untuk presiden demi proyek baru kita, proyek paling besar yang mungkin kita dapatkan"

Jendra membicarakannya dengan enteng. Ia kembali membuka kotak cerutu, disulutnya satu cerutu baru, padahal cerutu yang lama belum setengahnya habis.

"sini,"

Sambil membuat gerakan dengan telunjuknya Jendra meminta Milka mendekat.

"mulai sekarang buat paspor dan pindahkan uangmu ke luar negri, buat jaga-jaga, jangan jadi orang goblok" kata Jendra setelah Milka mencondongkan tubuhnya. Setelah berkata ia menghembuskan asap cerutu ke wajah Milka. Milka terbatuk dan segera menarik tubuhnya, ia memandang Jendra dengan pandangan benci.

"hahahaa" Jendra terbahak senang.

"sana kau boleh keluar sekarang!"

Milka segera keluar ruangan tanpa memperdulikan Jendra.

***

Rapat rahasia diadakan presiden. Pesertanya adalah kepala intelejen negara, presiden sendiri dan ajudannya.

"Ada informasi apa?" tanya presiden

"ada percobaan untuk menjatuhkan pemerintahan dengan isu suap 100.000 dollar kepada bapak," jawab kepala intelejen negara, "info ini kami dapat berkat arahan bapak untuk menyadap kantor pengusaha bernama Jendra" lanjutnya

"bagus, saya sudah lama curiga dengan orang itu, siapa saja yang terlibat?" tanya presiden lagi

"sejauh ini saya kira hanya Jendra dan seorang wanita bernama Desy Milka, kepala bagian keuangannya"

"siapa yang sudah tahu informasi ini?"

"saya dan Budi, staf pribadi saya pak"

"bagus, tetap pantau Jendra dan jangan libatkan lebih banyak orang lagi, kamu boleh keluar" tutup presiden. Kepala intelejen negara memberi hormat lalu meninggalkan ruangan. Kini tinggal presiden berdua dengan ajudannya di dalam ruangan.

"Koper hitam aman?" tanya presiden

"aman pak" jawab ajudannya

"jaga kasus ini, kamu sudah tahukan siapa saja yang harus diamankan?" timpal presiden sambil beranjak dari bangkunya.

"termasuk kepala intelejen, pak?" tukas ajudannya cepat-cepat.

Presiden berjalan menuju pintu, sambil membuka daun pintu ia menolehkan kepala kepada ajudannya yang masih tampak kebingungan.

"semuanya," kata presiden lirih. Pintu tertutup.

Metro, 28 Oktober 2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun