Kasus "Nenek Ashani yang Melindungi Kayu Jati dan Hukum yang Rapuh"Â
Â
 Nenek Ashani kini mendekam di penjara karena mencuri kayu jati di hutan produksi pada 7 Juli 2014. Dia dijerat Pasal 12 UU Pencegahan Deforestasi juncto Pasal 83(1) dan terancam hukuman lima tahun penjara. Nenek Ashani mengaku kayu tersebut miliknya dan diperolehnya dari tanah miliknya di Dusun Sekangan, Situbondo. Â
 Kasus Nenek Ashani menarik perhatian publik, bahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ibu Siti Nurbaya secara khusus menyerukan diakhirinya penahanan Nenek Ashani yang sudah hampir tiga bulan dipenjara. Politisi menyampaikan belasungkawa dan menjadi penjamin bagi Nenek Ashani sebelum majelis hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan dalam putusan sela yang diumumkan di Pengadilan Negeri Situbondo, Senin (16/3). Dia menyatakan siap. Bahkan, rakyat kecil kerap dijadikan alat legitimasi dan permainan politik. Kelompok elite kurang peduli terhadap konten dan advokasi permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat kelas bawah. Mereka lebih tertarik pada kemasan dan berusaha menjadikannya isu politik yang seksi untuk mendapatkan dukungan. Â
 Kasus yang melibatkan nenek Ashani menyoroti rapuhnya supremasi hukum. Undang-undang ini tampaknya tidak mampu menangani kasus korupsi yang melibatkan kelompok elit, namun juga sangat keras terhadap kelompok rentan. Buktinya, tak butuh waktu lama Ashani bisa diadili oleh aparat penegak hukum. Berbeda dengan penanganan skandal Bank Century yang merugikan negara sebesar Rp6,7 triliun dan masih belum jelas hasilnya. Sejauh ini, pelaku utama masih belum terkena dampak karena mereka mempunyai akses terhadap kekuasaan, tidak dihukum oleh hukum, dan ini akan sangat berbahaya jika diketahui.Â
 Oleh karena itu, tak heran jika penegakan hukum kerap meninggalkan jejak sinisme. Benar juga bahwa penanganan kasus korupsi selalu membuahkan hasil yang mengecewakan. Lembaga penegak hukum yang mengandalkan realisme politik akan kesulitan mengungkap akar korupsi karena rasa malu kepemimpinan. Jika undang-undang ini terbukti mulia dan berani menjaga independensi, berapa banyak pejabat pusat dan daerah yang akan dipenjara karena penyalahgunaan kekuasaan?Â
 "Memahami hukum positivisme"Â
 Positivisme berpandangan bahwa teori-teori hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang mengalami proses positivisasi berupa undang-undang atau lexes untuk menjamin kepastian mengenai apa yang dianggap sebagai hukum dan apa yang tidak.Ini merupakan aliran filsafat hukum.Â
 Aliran hukum positivis atau positivisme hukum adalah aliran filsafat hukum. Aliran ini meyakini perlunya pemisahan yang tegas antara hukum dan moralitas (antara hukum yang berlaku dan hukum yang berlaku, antara "kenyataan" dan "seharusnya").Â
"Pandangan Positivisme Hukum"Â
 Austin dan Kelsen menolak hukum yang abstrak. Menurutnya, hukum adalah tatanan yang dibuat oleh manusia, namun dari sudut pandang yang berbeda. Austin menjelaskan, suatu tatanan baru  dapat dianggap hukum hanya jika ia berasal dari penguasa yang berdaulat (mahakuasa), yakni negara. Hukum positif mengacu pada pengaturan suatu negara yang berdaulat penuh. Meskipun Kelsen setuju dengan pandangan Kelsen bahwa hukum terpisah dari moralitas, namun ia tidak setuju dengan pernyataan bahwa hukum adalah sebuah perintah karena sebuah perintah memerlukan komponen psikologis. Kelsen berpendapat bahwa hukum adalah norma murni yang berasal dari sumber terbatas dan menimbulkan gagasan bahwa seseorang harus berperilaku tertentu. Kelsen dengan jelas membedakan standar hukum dengan standar lainnya.Â
 Pandangan ini berpendapat bahwa positivisme hukum bertujuan pada kepastian hukum, bahwa hanya ada norma-norma hukum yang hanya dapat dibandingkan dengan norma-norma hukum lainnya, dan bahwa norma-norma tersebut berguna untuk memecahkan masalah-masalah konkrit dengan menggunakan logika. Pandangan ini mengklaim menolak operasi positivis. Terlepas dari apakah undang-undang buatan manusia ini etis atau tidak, kita tidak boleh meragukan keefektifannya. Norma positif diterima sebagai doktrin sepanjang norma tersebut sesuai dengan kaidah kodifikasi logis ilmu hukum. Perspektif kedua ini mengarah pada munculnya struktur normatif yang membentuk hierarki berdasarkan tingkatan abstraksi yang baku, dengan abstraksi yang paling mendasar menduduki posisi tertinggi sebagai pembatas antara peraturan perundang-undangan, hukum, dan etika. Keterbatasan ini, yang timbul dari ketidakmampuan hukum untuk menguduskan dirinya pada status tertingginya, tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan Kelsen tentang norma-norma fundamental. Sejak itu, model penalaran yang penuh kekerasan dan sistem logika positivisme hukum yang sempit telah diambil secara ekstrem, dan hubungan antara hukum dan moralitas telah diakui. Dari sudut pandang Kelsen, ini merupakan kelemahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI