Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kangen Ibu

22 Desember 2023   22:23 Diperbarui: 23 Desember 2023   07:08 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ke sepuluh bekerja sebagai kasir di Kafe Anin, membuatku tak cukup lega untuk mengurus hal lain. Tanggung jawabku banyak. Apalagi sebagai anak baru. Tak mungkin sengaja izin atau tak masuk kerja. Bagaimana jika bos tak berkenan, bukankah akan mempengaruhi pekerjaanku? Aku tak mau dicap sebagai orang yang tak mampu bekerja. 

Pemandangan pohon pinus, menjadi pemandangan biasa. Pinus yang berderet, menanti angin untuk bernyanyi. Sengauan suara, menciptakan nada tanpa pernah sumbang.

Kafe Anin berada di pinggiran hutan pinus kota ini. Sejak awal aku mengagumi landscape yang dibuat oleh pemiliknya. Tempatnya adem, membuat kafe banyak dikunjungi. Kafe menjadi ramai karena pengunjung nyaman. 

Aku menarik nafas pelan. Ah, Ibu. Aku kepikiran. Minggu lalu ia memintaku untuk pulang. Bagaimana bisa menjawabnya? Pekerjaan yang membuat aku beralasan untuk tidak pulang. Perbedaan tempat tinggal, menjadi jarak antara aku dan Ibu. 

"Bu, aku masih anak baru di tempatku bekerja, gimana kalau Raya pulang bulan depan?" pintaku.

"Nggak papa, Raya. Yang penting kamu selalu jaga kesehatan. Jaga ibadahmu, sayangi keluargamu. Itu kunci utama."

Ibu selalu menyemangati. Tidak pernah membuat aku down. Dulu pernah aku sekali membantahnya saat mempertahankan cinta Edin. Ternyata Ibu benar. Apa yang dikatakan menjadi kenyataan. Edin laki-laki yang tidak bisa dijadikan sandaran. Bahkan saat aku membutuhkannya, Edin tak bisa sebagai calon imam yang baik.

Usiaku yang cukup matang, tak lagi membutuhkan pacar, tapi teman hidup untuk masa depan. Aku ingin menjalani kehidupan baru sesuai ekspektasi. Tentu tidak main-main

Pada saat itu, waktu menuntutku tak berani gegabah. Aku pikir, Edin adalah laki-laki dewasa. Tapi ternyata tidak. Ibu tak marah, bahkan menyokongku agar tak patah hati.

"Apa itu patah hati? Patah hati itu hanya segumpal kesedihan yang bisa dihapus dengan segudang kemampuanmu, Raya. Kamu pintar, kamu cantik, pasti akan mudah mencari penggantinya." kata Ibu suatu hari ketika tangisan sesegukan datang dari ujung telpon di telinganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun