Rasa Bakmi Jawa di Yogyakarta berbeda dengan Semarang. Aromanya juga berbeda. Jika khas Yogyakarta, bakmi jawa asin gurih, daging ayam jawa, dan memakai telur bebek. Kuahnya cenderung putih dan tidak memakai kecap. Juga lebih encer. Saya memang suka bakmi kuah yang banyak, seperti berenang.
Sedangkan di Semarang, bakmi jawa memakai kecap, daging ayam potong, dan memakai telur ayam. Rasanya lebih condong manis gurih. Memakai kemiri sebagai bumbunya, sehingga kuahnya kental.
Saya sih, suka semuanya, karena memang penggemar mi. Baik khas Yogyakarta maupun Semarang, sama-sama segarnya. Apalagi disantap memakai cabai yang pedas. Huh hah, mantap deh.
Sembari menyantap mi, panjang lebar Mbak Ita bercerita banyak. Berbagai topik ada di obrolan kami. Ah, malam semakin seru. Didukung suasana syahdu dengan cahaya lampu redup.Â
Pandangan saya berputaran. Kursi-kursi yang tertata, hampir semuanya kursi jadul. Katanya hunting dari berbagai tempat. Sebuah lesung yang terbuat dari kayu kuno, menarik perhatian saya. Bagus, begitu batin saya.
Seperangkat alat musik gamelan sederhana, juga ada di sana. Pengunjung bisa mencoba memainkannya, atau sekedar berfoto dengan latar belakang alat musik gamelan itu.
Mbak Ita bilang, biasanya ada musik live keroncong, tetapi hanya ada di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu malam. Oh, gitu ya. Padahal kami datang hari Rabu. Jadi, tidak bisa menemui mereka. It's okay, siapa tahu kami berkunjung di lain hari, bisa menikmatinya.
Musik keroncong dengan lagu-lagu jadul, pasti akan menambah suasana semakin terpental ke masa lalu. Apalagi kata Mbak Ita, pemusiknya merupakan pemusik sepuh sekitar lokasi kedai yang direkrutnya.Â