Hari beranjak senja, lalu petang dan malam. Tetapi suasana syahdu mengiringi perjalanan pada hari itu. Ya, pada Rabu, 8 Maret 2023, saya bersama teman Click Komunitas Kompasiana, menuju Kopi Lumbung Mataran Yogyakarta untuk makan malam.
Berdelapan, kami berasal dari luar kota Yogyakarta yaitu, Jakarta, Semarang, Kudus, dan Temanggung.Â
Tentu saja, antusias dong, mengikuti event Click Goes To Jogja. Acara ini bakalan jadi pengalaman yang seru. Banyak kenangan tercecer di setiap sudut Yogyakarta, yang bisa ditelusuri kembali.
Kami berasal dari kota yang berbeda, memang sengaja janjian ngumpul di Yogyakarta. Selain kopi darat, juga berencana melakukan perjalanan mengelilingi Yogyakarta dan sekitarnya. Esok harinya, ke Solo dengan moda transportasi Commuter Line menuju Masjid Raya Masjid Raya Sheikh Zayed.
Nah, lokasi kedai Kopi Lumbung Mataram ini, berada di sebuah perkampungan Purbayan Kotagede Yogyakarta. Agar tidak salah jalan, membutuhkan panduan google maps. Bagi pengunjung dari luar kota Yogyakarta, akan terbantu agar bisa menemukannya. Tempatnya memang bukan di pinggir jalan besar, melainkan masuk perkampungan. Semacam hidden gem.Â
Ketika sampai di lokasi, tercium aroma masa lalu masyarakat Jawa yang kental. Bangunan khas Jawa kuno yang sudah berdiri sejak 270-an tahun lalu, menyeruakkan kenangan alam pada masa kecil. Hidung mencium aroma asap pembakaran, seperti di pedesaan, padahal lokasinya di lingkup kota.
Desain bangunan yang unik, menjadikan saya dan kawan-kawan merasa gatal untuk tidak memotretnya. Padahal, Mbak Ita sebagai pihak manajemen Kopi Lumbung Mataram, sudah menunggu kami di dalam. Kami memang reservasi terlebih dahulu sebelum ke sini. Ia keluar, lalu menyambut kami dengan ramah dan mempersilahkan masuk.
Ia bercerita, bahwa di masa lalu, Rumah Jawa memiliki khas adanya kandang sapi yang berada di area halaman depan. Tetapi di Kopi Lumbung Mataram ini, sapi-sapi digantikan dengan kursi-kursi kayu desain jadul, yang bisa dijadikan tempat menerima tamu.
Kami berjalan terus menuju pintu gerbang, tentu saja dari bahan dan desain yang sangat klasik, sebagai batasan halaman depan dengan area bangunan rumah.
Hari yang beranjak senja, kami salat magrib terlebih dahulu di musala dalam Kedai Kopi Lumbung Mataram. Serasa di rumah sendiri, tempat ini hommy banget.
Setelah salat, kami disodori lembaran menu.
"Mau makan dan minum apa? Silahkan dipilih, ya."
Lalu nggak pakai lama, kami disuguhi beberapa jajanan gorengan sesuai permintaan. Tempe mendoan, pisang goreng, ketela goreng. Beberapa gelas minum terisi dengan teh yang dipadukan rempah-rempah seperti jahe dan serai. Hem, harum.
Sajian hangat jajanan sebagai makanan pembuka, sungguh nikmat. Pisang goreng manis, enak memakai pisang kepok yang pulen. Tempe mendoan tersaji hangat juga merupakan sajian yang menjadi favorit. Begitu pula ketela goreng yang gurih. Langsung tandas.
Saatnya memilih menu makan utama. Di sana telah tersaji menu prasmanan, dengan mengambil sendiri sesuai selera. Ada sayur oseng godong kates khas desa, rica-rica ayam, mangut lele, telor ceplok dan masih banyak lagi.
Saya bertanya, "Apakah ada yang hangat dan panas, lalu berkuah?"
"Ada, Bakmi Jawa. Mau godog atau goreng?" tanya Mbak Ita.
Saya menjawab godog saja, karena saya kepingin yang berkuah. Aha! Sesuai banget sama selera saya, karena penggemar mi.
Sambil menunggu Bakmi Jawa tersaji, Mbak Ita yang memiliki nama lengkap Zuraida Novita bercerita bahwa kedai ini ada sejak Desember 2020. Pada masa itu baru musimnya covid yang nyaris membuat lumpuh perekonomian.
Ia berpikir, bagaimana memberdayakan diri dan orang sekitarnya di saat pandemi, agar tetap bisa bertahan.Â
Dengan konsep Bangunan Rumah Jawa, bangunan ini merupakan warisan dari leluhurnya. Memiliki luas 1 hektare, mampu menampung 400 tamu yang datang. Bangunan ini sudah ada sejak tahun 1750. Wah, lama banget, ya.
Tidak mudah memang pada awal memulai. Tetap bertahan dengan prinsip bahwa kedai ini harus tetap ada, untuk menghidupi karyawannya yang berjumlah 20 orang.Â
Nama Lumbung Mataram sendiri merupakan korelasi tentang ketahanan pangan.
Ia juga menuturkan bahwa nantinya akan ada homestay yang masih dalam proses, sehingga tamu bisa menginap di sana. Wah, pasti krasan nih. Di tempat yang seperti di rumah sendiri. Ada halaman rumah, dengan hiasan gentong klasik dan tanaman khas pedesaan. Saya membayangkan seperti di rumah Eyang.
Tak berapa lama, sajian Bakmi Jawa rebus tersaji. Kami dipersilakan untuk menyantapnya. Hayuk aja, karena pas lapar juga.
Rasa Bakmi Jawa di Yogyakarta berbeda dengan Semarang. Aromanya juga berbeda. Jika khas Yogyakarta, bakmi jawa asin gurih, daging ayam jawa, dan memakai telur bebek. Kuahnya cenderung putih dan tidak memakai kecap. Juga lebih encer. Saya memang suka bakmi kuah yang banyak, seperti berenang.
Sedangkan di Semarang, bakmi jawa memakai kecap, daging ayam potong, dan memakai telur ayam. Rasanya lebih condong manis gurih. Memakai kemiri sebagai bumbunya, sehingga kuahnya kental.
Saya sih, suka semuanya, karena memang penggemar mi. Baik khas Yogyakarta maupun Semarang, sama-sama segarnya. Apalagi disantap memakai cabai yang pedas. Huh hah, mantap deh.
Sembari menyantap mi, panjang lebar Mbak Ita bercerita banyak. Berbagai topik ada di obrolan kami. Ah, malam semakin seru. Didukung suasana syahdu dengan cahaya lampu redup.Â
Pandangan saya berputaran. Kursi-kursi yang tertata, hampir semuanya kursi jadul. Katanya hunting dari berbagai tempat. Sebuah lesung yang terbuat dari kayu kuno, menarik perhatian saya. Bagus, begitu batin saya.
Seperangkat alat musik gamelan sederhana, juga ada di sana. Pengunjung bisa mencoba memainkannya, atau sekedar berfoto dengan latar belakang alat musik gamelan itu.
Mbak Ita bilang, biasanya ada musik live keroncong, tetapi hanya ada di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu malam. Oh, gitu ya. Padahal kami datang hari Rabu. Jadi, tidak bisa menemui mereka. It's okay, siapa tahu kami berkunjung di lain hari, bisa menikmatinya.
Musik keroncong dengan lagu-lagu jadul, pasti akan menambah suasana semakin terpental ke masa lalu. Apalagi kata Mbak Ita, pemusiknya merupakan pemusik sepuh sekitar lokasi kedai yang direkrutnya.Â
Tak terasa, waktu terus merambat. Malam semakin menjelang. Saatnya berpamitan dan pulang. Kedai Kopi Lumbung Mataram, buka pada pukul 07.00 pagi hingga 22.00 malam.Â
Sebenarnya masih kerasan, tetapi kami harus kembali ke penginapan untuk istirahat dan persiapan, agar esok hari merasa segar saat melanjutkan perjalanan ke Solo naik Commuter Line.
Kami pamit. Ini merupakan pengalaman seru bersama teman Kompasianer di acara Click Goes To Jogja.
Semarang, 11 Maret 2023.
Salam hangat,
Wahyu Sapta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H