Saya bertanya, "Apakah ada yang hangat dan panas, lalu berkuah?"
"Ada, Bakmi Jawa. Mau godog atau goreng?" tanya Mbak Ita.
Saya menjawab godog saja, karena saya kepingin yang berkuah. Aha! Sesuai banget sama selera saya, karena penggemar mi.
Sambil menunggu Bakmi Jawa tersaji, Mbak Ita yang memiliki nama lengkap Zuraida Novita bercerita bahwa kedai ini ada sejak Desember 2020. Pada masa itu baru musimnya covid yang nyaris membuat lumpuh perekonomian.
Ia berpikir, bagaimana memberdayakan diri dan orang sekitarnya di saat pandemi, agar tetap bisa bertahan.Â
Dengan konsep Bangunan Rumah Jawa, bangunan ini merupakan warisan dari leluhurnya. Memiliki luas 1 hektare, mampu menampung 400 tamu yang datang. Bangunan ini sudah ada sejak tahun 1750. Wah, lama banget, ya.
Tidak mudah memang pada awal memulai. Tetap bertahan dengan prinsip bahwa kedai ini harus tetap ada, untuk menghidupi karyawannya yang berjumlah 20 orang.Â
Nama Lumbung Mataram sendiri merupakan korelasi tentang ketahanan pangan.
Ia juga menuturkan bahwa nantinya akan ada homestay yang masih dalam proses, sehingga tamu bisa menginap di sana. Wah, pasti krasan nih. Di tempat yang seperti di rumah sendiri. Ada halaman rumah, dengan hiasan gentong klasik dan tanaman khas pedesaan. Saya membayangkan seperti di rumah Eyang.
Tak berapa lama, sajian Bakmi Jawa rebus tersaji. Kami dipersilakan untuk menyantapnya. Hayuk aja, karena pas lapar juga.