Memandang Naura, sama seperti mengunyah permen karet rasa blueberry. Manis banget. Itupun masih mengunyah batangan coklat yang berpita warna pink. Sungguh! Tak ada kata yang bisa menggambarkan secara tepat betapa manisnya dia.
Mata ini rasanya tak mau berkedip barang sebentar karena tak ingin lepas pandang darinya. Tak ada bosan.
Naura sering tersipu malu dan bilang, "Ih, apaan sih?"Â
Suara cempreng akan menggema di seluruh ruangan kelas yang pagi itu hanya ada aku dan dia. Pipinya kemerahan. Aih, batinku.
Aku menyukai saat-saat seperti itu. Rasanya aku bersenyawa, hanya dengannya. Orang lain tidak ada dan hanya berdua, yaitu aku dan Naura.
Eh, tapi sebenarnya bukan seperti itu sih. Lebih tepatnya, orang lain memilih kabur, daripada menjadi obat nyamuk dan dikacangin.Â
Dewi cinta menancapkan panahnya yang paling dahsyat ke arahku. Jleb! Aku terpanah! Oh, oleh cinta yang semerbak mewangi karena pesona Naura.
Apalagi saat Naura membalas pandanganku dengan senyuman. Aha! Peer matematika yang rumit dan susah, terlewat begitu saja, enteng bisa kukerjakan satu menit. Meskipun aku tidak tahu, apakah benar atau salah jawaban itu.Â
Dari kejauhan Naura menepok jidat sambil geleng-geleng kepala. Aduh, manis betul. Mana ada yang menandingi? Tak ada! Bahkan, Maudy Ayunda pun lewat.
***