"Ibu, sarapan dulu yuk. Sinta sudah masak loh, makanan kesukaan ibu." Kataku lembut. Berbicara dengan Ibu memang harus hati-hati. Terlalu pelan, ibu susah mendengarnya. Tetapi ketika aku menambah volumenya, terasa seperti membentak. Ibu akan berubah wajahnya, kaget tentu saja. Padahal bukan maksud hati aku berbicara keras.Â
Sejak kepulangan Ibu dari rumah sakit seminggu lalu, aku bergantian berjaga dengan Mbak Dina.Â
Ibu menderita diare akut, sehingga harus dirawat. Sebenarnya ada Yu Nah yang setia menemani, pembantu ibu yang sudah lama ikut sejak aku masih sekolah.
Tetapi saat ini Ibu butuh perhatian lebih, agar tidak sakit lagi. Obat dari dokter juga harus diberikan, tidak boleh lupa. Syukurlah ibu relatif mudah ketika dirawat. Jadi aku dan Mbak Dina tidak begitu susah memikirkannya.
Anak Ibu hanya dua orang. Aku dan Mbak Dina. Bergantian menjaga ibu akhir-akhir ini. Mbak Dina hanya di akhir pekan saja, karena tidak bisa pamit di kantornya terus menerus. Selebihnya aku.
Beruntung Mas Gilang mengerti. Apa jadinya jika dia protes?Â
Bling!Â
Notasi ponselku berbunyi. Mas Gilang menelpon. Baru saja aku membatinnya. Umur panjang!
"Assalamu'alaikum Sinta, apa sih bumbunya sayur sop?" Tanya Mas Gilang di ujung sana. Aku tergelak. Suamiku memang ayah yang baik. Bahkan mau repot memasak untuk Dave dan Desy, anak kembar kami.Â
Merawat anak kembar memang merepotkan. Tapi kelelahan itu akan terbayarkan dengan hati yang senang melihat kelucuan mereka. Mas Gilang mau menggantikan posisiku sebagai ibunya.
Setelah memberi tutorial memasak sayur sop, aku memberi tutorial kegiatan sekolah untuk anak-anak secara daring. Selebihnya dibantu Marni pengasuh anak-anak yang datang pagi pulang sore.Â