wahai malam, keterikatan ini melahirkan rindu,Â
tolong, bawakan aku salam penawar rindu,Â
sebelum waktu tak berpihak, pada perasaanku yang meragu.
Sungguh benar adanya, bahwa cinta jangan dilawan. Karena cinta tak akan pernah selesai hanya dengan menyingkirkannya. Cinta itu begitu kuat, sehingga membawaku ke dalam arusnya.Â
"Yakin kamu sudah melupakannya? Baru saja kemarin kau bilang padaku, Ara tak bisa kau lupakan." Kata Al sahabatku.
"Serius, Al. Tak ada lagi Ara di hatiku. Nyatanya, tadi malam aku bisa tertidur nyenyak tanpa memikirkan Ara lagi." Kataku sambil meyakinkan Al.Â
"Syukurlah. Memang harusnya begitu, Fian." Kata Al sambil menepuk bahuku.
Padahal sebenarnya aku berbohong. Ara tetap memenuhi ruang dalam seluruh hati dan pikiranku. Tetapi paling tidak ada perlawanan dalam diriku, bahwa Ara tak mampu mengoyakkan segala perasaan ini, meskipun selalu gagal berkali-kali.
hanya kau yang bisa membuatku sempurna,
tak akan kuizinkan cinta mudah berganti, semudah hari berganti,
walau sekejap engkau memberikan bahagia, tapi kau adalah anugerah yang terindah buatku.
***
Ya, Ara memang telah mengoyakkan segala yang ada padaku. Hatiku, perasaanku, skripsiku, kuliahku, pesan mamaku, segalanya. Aku harus bangkit. Tak harus perasaan ini berlarut-larut. Aku mengerti, betapa Mama meminta aku segera lulus dan fokus pada skripsi yang terbengkalai selama ini.Â
Wajah Mama yang berharap banyak pada masa depanku, sungguh tak bisa kuabaikan. Padahal selama ini, hanya ada Ara di hatiku. Ia membuatku sempurna sebagai sosok Fian.Â
Aku memang bukan lelaki cengeng. Jago beladiri. Bahkan pernah menolong seseorang yang pada saat itu tengah ditodong di tengah jalan. Saat itu kebetulan aku melintas dan menolongnya. Aku mampu menaklukkan penodong dan membuatnya pergi ketakutan. Betapa seseorang itu berterimakasih padaku.Â
Segala penghargaan yang mengapresiasi prestasiku juga berjajar di kamar. Entah berapa, tak terhitung oleh jari.Â