Sesekali bunyi sesegukan yang ia tahan, tak sadar keluar. Lalu tetes air mata menitik. Segera diusapnya, karena ini tabu. Sebagai lelaki, ia pantang meneteskan air mata.
"Ambil air wudlu. Salatlah dua rekaat. Setelah itu, memohonlah kepada Allah. Mengadulah kepada-Nya. Meminta ampun hanya kepada-Nya. Itu saranku. Aku tak bisa membantu banyak." Kata seseorang yang dipanggilnya kakek.
Hitungan waktu yang terus merambat, bagai melambat, padahal demikian cepat berpacu.Â
Tua bukan lagi tanda lapuk atau rapuh. Melainkan semakin dinamis dan menyenangkan. Betapa tidak, kekayaan yang melimpah membuat percaya dirinya bertambah. Ada sedikit pongah yang menggelayut dalam dirinya. Meski ia simpan rapat, seolah tak terlihat.
Jalu adalah orang yang baik, santun, memiliki jiwa dermawan. Mudah trenyuh ketika melihat orang yang sedang kesusahan. Tetapi juga jiwa pongahnya terkadang muncul. Ia merasa dirinya yang paling benar dan jarang mendengarkan perkataan orang lain.
Ingatannya mengembara pada sebuah peristiwa yang baru lalu.
Angin kering merayap pelan, menghembuskan bau wangi. Ia terkesima melihat apa yang ada di depannya. Setumpuk uang begitu menggoda.
"Kamu tahu siapa saya?" tanya seseorang berparas putih dan berbaju rapi. Dasi yang terpasang di leher terbuat dari sutera. Kulit putih bersih, menandakan orang tersebut jarang keluar rumah, selalu dalam ruangan ber-AC.
"Iya, saya kenal bapak. Lalu apa yang bisa saya bantu?" Ia bertanya dengan sopan.
"Aku mau, kamu membawa pengiriman ini tanpa tercium petugas. Bisa?"