Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Leker Pisang Raja, Jajanan Legendaris Kenangan Masa Kecil yang Enak

9 Agustus 2021   06:32 Diperbarui: 9 Agustus 2021   17:17 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Minggu kemarin, seperti biasa saya mengunjungi orang tua di Kota Pati. Meskipun PPKM, tetapi urusan orang tua tetap nomor satu. Mumpung masih diberi kesempatan. 

Tetap menjaga diri di saat pandemi agar selalu sehat, juga penting. Karena itu, walaupun hilir mudik perjalanan, jangan pernah merasa bosan untuk waspada agar terhindar dari penyakit. Artinya, saya harus tetap bersikap sesuai prokes --memakai masker dan lain-lainnya. 

Ya, karena ini juga untuk kepentingan diri sendiri, juga orang lain di sekitar saya. Jika saya sehat, orang lain juga aman. Jika orang lain sehat, itu artinya saya juga aman. Memang begitu seharusnya. Saling menjaga, untuk memutus mata rantai pandemi agar tidak semakin meluas dan segera berhenti.

Nah, beda topik nih, ada satu hal yang membuat saya suka saat berkunjung ke kota tempat tinggal orang tua, atau kota di mana saya menikmati masa kecil. Apa coba? Jajanannya! 

Ya! Apalagi ketika saya melewati lokasi di mana jajanan kenangan itu digelar. Aduh, nggak terasa nih, tiba-tiba setir berbelok arah dengan sendirinya. Hahaha... nostalgia ya? Atau dejavu? Yah, begitulah.

"Pesan leker 20, ya pak!" Kata saya. 

"Oh, siap bu," kata penjual leker sambil menggeser kursi plastik, lalu diberikan kepada saya, "silakan duduk, bu. Sambil menunggu." Katanya ramah.

Mana bisa saya duduk manis? Yang ada, malah saya melongok ke gerobag penjual leker. 

Ada wadah plastik besar berisi adonan tepung cair untuk membuat leker. Sedangkan dua wajan kecil, terjerang di atas tungku arang, berada di dekat adonan tepung. Beberapa pisang menggelantung di atas gerobak sebagai bahan isian pembuatan leker. 

Dua wajan untuk membuat leker dan beberapa pisang untuk isian menggantung di atas gerobag. | Foto: Wahyu Sapta.
Dua wajan untuk membuat leker dan beberapa pisang untuk isian menggantung di atas gerobag. | Foto: Wahyu Sapta.

Seorang pembeli sebelum saya, selesai dilayani. Sekarang giliran saya dibuatkan leker. Sedikit adonan tepung cair dituangkan di atas wajan yang sudah dioleskan mentega. Berbentuk lingkaran, kemudian tengahnya diberi beberapa iris buah pisang, lalu ditabur gula pasir yang telah bercampur coklat bubuk.

Hanya sebentar leker telah matang. Leker dilipat menjadi setengah lingkaran, tanda leker telah siap disantap. Kertas coklat yang telah dipotong seukuran 15x15 cm, menjadi wadah leker matang. 

Kembali leker dibuat, sesuai jumlah pesanan saya. Jangan dibayangkan bahwa leker itu berukuran besar. Wajan kecil itu hanya bisa membuat leker seukuran diameter 10 cm. Paling hanya dua lahap hap, leker berpindah ke perut. Jadi, memesan 20 buah leker tidaklah banyak.

"Sudah lama berjualan leker pak?"

"Sudah, sejak tahun 1997, jadi sudah 23 tahun saya berjualan leker. Dulu saya kerja di konveksi. Karena masa krismon, saya beralih profesi menjual leker. Ya pokoknya dijalani saja kerjaan ini. Yang penting lancar rezeki dan bisa menambah penghasilan."

"Loh pak, jualan begini kan juga mencari rezeki. Kalau ramai, lumayan kan?"

"Agak seret pas masa pandemi sekarang," katanya. 

"Semua mengalami pak. Saya aja juga terdampak," kata saya menghiburnya.

Ya, memang pandemi ini berdampak pada segala bidang. Termasuk ekonomi. Masyarakat dibuat jumping karena lesunya perekonomian. Tidak ada yang tidak terdampak, termasuk saya.

"Iya," jawab penjual sambil tangannya tetap bekerja meracik sajian leker. Adonan tepung kembali tertuang dalam wajan kecil. 

Bahan bakar arang untuk memasaknya, membuat harum yang khas. Asap dari arang mengepul pelan. Tak sampai arang menjadi merah membara. Hanya bara kecil untuk memasak leker, karena leker cepat matang, tidak butuh waktu lama. 

Adonan tepung cair ini, memakai bahan tepung terigu, telur, susu/santan, gula dan air. Pisang yang digunakan adalah pisang raja yang telah matang. 

Leker memang enak jika memakai pisang raja, bukan pisang lainnya. Karena pisang raja memberi rasa manis yang khas pada leker. Merupakan perpaduan yang pas menurut saya. 

Penjual leker bernama Pak Sugeng. Dulu sering mangkal di Jalan Supriyadi Pati, di depan sebuah sekolah dasar. Karena masa pandemi, maka jualannya berpindah di depan SPBU dekat Lapangan Joyokusumo Pati. 

Pak Sugeng, penjual leker yang ada di Kota Pati. | Foto: Wahyu Sapta.
Pak Sugeng, penjual leker yang ada di Kota Pati. | Foto: Wahyu Sapta.

Dia juga menerima pesanan lewat grab. Jadi jika malas keluar rumah, masih bisa memesannya. Keren, ya. Terobosan yang patut diacungi jempol. Apalagi di saat pandemi seperti sekarang. Pantang menyerah dan tetap berjuang, walau badai menghadang.

Leker Pak Sugeng bisa dipesan lewat online. Kalau mager, masih bisa menikmati leker. | Foto: Wahyu Sapta.
Leker Pak Sugeng bisa dipesan lewat online. Kalau mager, masih bisa menikmati leker. | Foto: Wahyu Sapta.

"Dulu hanya satu penjual leker di Pati loh, Bu. Saya yang paling lama. Sekarang banyak yang ikutan berjualan leker."

"Oh, ya? Dulu waktu saya kecil ada penjual leker depan SD."

"Oh, itu kakek saya. Sudah meninggal. Saya yang meneruskan ilmu jualan leker ini."

Oh, begitu ya? Memang sih, ketika saya kecil, penjual leker pada waktu itu sudah tua. Saya manggut-manggut mendengar ceritanya. 

Tidak terasa, 20 buah leker pesanan saya sudah jadi. Harganya 40K. Perbijinya hanya 2K saja. Murah meriah. Aduh, saya jadi pengin cepat mencicipnya. 

"Laris manis, ya pak," kata saya pamit sambil berlalu. Pak Sugeng mengucapkan terima kasih. Beberapa orang telah antre di belakang saya. Ternyata memang laris manis dan banyak penggemarnya. 

Saya pulang ke rumah untuk segera mencicipnya. 

Enak lho. Tepung leker rasanya manis gurih. Adonan tepung juga memakai bahan alami, jadi terasa nikmat saat disantap. Tidak membuat eneg, manisnya pas. 

Krispi pinggirnya, lezat lapisan tengahnya yang berisi pisang dan gula pasir yang bercampur coklat. Mantap, deh! | Foto: Wahyu Sapta.
Krispi pinggirnya, lezat lapisan tengahnya yang berisi pisang dan gula pasir yang bercampur coklat. Mantap, deh! | Foto: Wahyu Sapta.

Oh, iya, karena saat memasaknya memakai wajan, maka lapisan pinggir leker lebih tipis jika dibanding dengan lapisan tengah. 

Krispi pinggirnya, lezat lapisan tengahnya. Apalagi lapisan tengah berisi pisang dan gula pasir yang bercampur coklat. Manis dari pisangnya membuat rasa alami. Hem... mantap!

Leker ini jajanan legendaris, yang merupakan kenangan masa kecil. Jajanan masa sekolah yang bikin kangen. Hum, kenangan masa kecil segera menguar. 

Aduh, dejavu, nih! Kok saya seperti kembali jadi anak kecil lagi, ya? Hahaha... kalau ini sih mengkhayal! Yuk, ah.

Salam hangat,

Wahyu Sapta.

Semarang, 9 Agustus 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun