Dear Diary, aku ingin bercerita padamu tentang hari ini. Boleh, kan? Sudah lama aku tak menulis diary. Aku sering kelupaan. Padahal jika tidak kutulis apa yang terjadi hari ini, akan hilang bersama angin. Aku lupa. Sesekali, aku ingin bercerita padamu.
Pagi hari tadi, sisa embun masih menempel di dedaunan. Semalam hujan sangat deras. Aku takut terjadi banjir di kota bawah. Beberapa hari lalu, sempat banjir melanda kota di mana aku tinggal. Aku ikut prihatin, sedih rasanya. Ternyata banjir juga telah terjadi di kota-kota lain. Semoga banjir segera surut dan tidak terjadi lagi, ya.Â
Dear Diary.
Hari ini, ritme pagi hari yang seperti biasa. Ritual berulang. Bangun subuh, sembahyang, lalu membereskan pekerjaan rumah. Di luar agaknya sudah sedikit lebih terang. Membuka pintu halaman samping, berarti menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Paru-paru kenyang udara segar.
Kicau burung liar masih terdengar. Tetapi seiring terang matahari terbit, suara menghilang. Burung-burung berpindah tempat. Mencari nafkah. Melanglang ke angkasa, mengepakkan sayapnya mencari makan.Â
Kadang-kadang aku iri pada burung-burung yang terbang ke angkasa itu. Bisa bebas melayang jauh. Melihat dunia dari atas. Pasti indah, ya?Â
Burung-burung itu memiliki rezeki, yang dijemputnya ke mana arah instingnya. Bergerombol, tak pernah pecah dari kelompoknya. Membuat manuver seperti bentuk kerucut, dengan pimpinannya di depan. Arah lajunya sama, kecepatan sama, sehingga tak satupun burung tertinggal. Hem.
Oh ya, membuka pintu, artinya juga menyapa yang ada di halaman rumah. Bebungaan dan binatang kesayangan. Suasana segar di luar, membuat badan menjadi segar pula. Masih alami. Masih banyak pohon yang sengaja aku tanam. Agar tampak hijau dan memberikan suasana nyaman.Â
Nah, mendengar pintu terbuka, seketika kucing lari menyambut Tuan Putrinya. Kucing-kucing jika malam hari memang berada di luar. Dengan suara merdu, dengan nada menandakan mereka meminta sesuatu. Lalu jika belum bertemu apa yang diinginkan, mereka akan mengikuti kemana saja Tuan Putri menikmati pagi di halaman.Â
Mereka tahu, Tuan Putri baik hati pada mereka. Siapa sih Tuan Putrinya? Ssst... Itu aku! Kadang aku juga membahasakan diriku dengan sebutan Dorti alias Ndoro Putri untuk mereka. Aneh, ya? Hahaha...Â
Saatnya berkeliling. Menikmati mekarnya bunga hari ini. Berbagai macam bunga ada di halaman rumah yang sempit ini. Tetapi tidak semuanya mekar. Karena musim penghujan, biasanya bunga lebih jarang. Dedaunan yang tumbuh lebih subur menampakkan tunasnya. Tak apa. Hari ini juga masih menjumpai bunga-bunga.Â
Bunga Anggrek yang berwarna hijau kekuningan. Jenis dendrobium, bunganya awet hampir sebulan, belum layu. Bahagianya aku.Â
Dulu ketika membeli, aku bertanya kepada penjualnya, "ID nya apa?"Â
Ia menjawab, "Kuning."Â
Memang saat membelinya, bunga masih kuncup kecil, belum terlihat warna bunganya. Yeap, itulah seni menikmati bunga anggrek. Mereka-reka warna bunga, sembari dag dig dug. Tak sabar menanti mekar bunganya satu per satu.
Hei, itu bunga Tapak Dara yang berwarna ungu, meski kecil tetapi tampak cantik. Ia tumbuh di sela pot anggrek. Media yang tak seharusnya bukan miliknya. "Nggak papa, ia berhak hidup. Nggak akan aku cabut." kataku dalam hati.
Masyaallah... Tabarakallah... Betapa pagi ini sangat menyenangkan. Menikmati karunia Tuhan yang begitu menakjubkan, tak mungkin terpungkiri hati. Betapa aku mengucapkan kalimat pujian berkali-kali, atas ciptaan-Nya pagi ini. Semua pencapaian bisa terjadi karena kehendak-Nya.Â
Sudah, ya. Aku pamit dulu. Sapu sudah menunggu. Saatnya menyapu halaman, sambil menggerakkan badan.Â
Semarang, 24 Januari 2021.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H