Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ritual Pagi Hari seperti Biasa

24 Januari 2021   06:00 Diperbarui: 24 Januari 2021   06:00 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga Sepatu Merah. Masih diselimuti embun sisa tadi malam. Eksotik. | Foto: Wahyu Sapta.

Dear Diary, aku ingin bercerita padamu tentang hari ini. Boleh, kan? Sudah lama aku tak menulis diary. Aku sering kelupaan. Padahal jika tidak kutulis apa yang terjadi hari ini, akan hilang bersama angin. Aku lupa. Sesekali, aku ingin bercerita padamu.

Pagi hari tadi, sisa embun masih menempel di dedaunan. Semalam hujan sangat deras. Aku takut terjadi banjir di kota bawah. Beberapa hari lalu, sempat banjir melanda kota di mana aku tinggal. Aku ikut prihatin, sedih rasanya. Ternyata banjir juga telah terjadi di kota-kota lain. Semoga banjir segera surut dan tidak terjadi lagi, ya. 

Dear Diary.

Hari ini, ritme pagi hari yang seperti biasa. Ritual berulang. Bangun subuh, sembahyang, lalu membereskan pekerjaan rumah. Di luar agaknya sudah sedikit lebih terang. Membuka pintu halaman samping, berarti menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Paru-paru kenyang udara segar.

Kicau burung liar masih terdengar. Tetapi seiring terang matahari terbit, suara menghilang. Burung-burung berpindah tempat. Mencari nafkah. Melanglang ke angkasa, mengepakkan sayapnya mencari makan. 

Kadang-kadang aku iri pada burung-burung yang terbang ke angkasa itu. Bisa bebas melayang jauh. Melihat dunia dari atas. Pasti indah, ya? 

Burung-burung itu memiliki rezeki, yang dijemputnya ke mana arah instingnya. Bergerombol, tak pernah pecah dari kelompoknya. Membuat manuver seperti bentuk kerucut, dengan pimpinannya di depan. Arah lajunya sama, kecepatan sama, sehingga tak satupun burung tertinggal. Hem.

Oh ya, membuka pintu, artinya juga menyapa yang ada di halaman rumah. Bebungaan dan binatang kesayangan. Suasana segar di luar, membuat badan menjadi segar pula. Masih alami. Masih banyak pohon yang sengaja aku tanam. Agar tampak hijau dan memberikan suasana nyaman. 

Tadi malam hujan, jadi ketika pagi hari masih sedikit basah. | Foto: Wahyu Sapta.
Tadi malam hujan, jadi ketika pagi hari masih sedikit basah. | Foto: Wahyu Sapta.
Dear Diary, jangan membayangkan halamanku itu luas loh. Halaman itu kecil. Tetapi banyak tanaman, karena aku suka tanaman.

Nah, mendengar pintu terbuka, seketika kucing lari menyambut Tuan Putrinya. Kucing-kucing jika malam hari memang berada di luar. Dengan suara merdu, dengan nada menandakan mereka meminta sesuatu. Lalu jika belum bertemu apa yang diinginkan, mereka akan mengikuti kemana saja Tuan Putri menikmati pagi di halaman. 

Ia bernama Emak. Kucing paling tua di rumah. | Foto: Wahyu Sapta.
Ia bernama Emak. Kucing paling tua di rumah. | Foto: Wahyu Sapta.
Kucing adalah teman setia. Dengan bahasa yang dimilikinya, tanda bahwa ia sayang kepada tuannya. Tetapi sih ada satu kunci mengapa ia selalu mengikuti tuannya, kemana saja. Apakah itu? Ya! Minta makan karena semalaman berada di luar dan lapar. 

Mereka tahu, Tuan Putri baik hati pada mereka. Siapa sih Tuan Putrinya? Ssst... Itu aku! Kadang aku juga membahasakan diriku dengan sebutan Dorti alias Ndoro Putri untuk mereka. Aneh, ya? Hahaha... 

Kenalkan, ia bernama Putri Tunggal. Tapi tetap dipanggil Pus. | Foto: Wahyu Sapta.
Kenalkan, ia bernama Putri Tunggal. Tapi tetap dipanggil Pus. | Foto: Wahyu Sapta.
Tingkah mereka yang lucu, cantik, ada saja ulahnya. Membuat aku terbahak-bahak melihatnya. Itu yang membuat kangen! Agaknya mereka juga kangen pada Tuan Putrinya, setelah semalaman berpisah. Mereka mendekat, sesekali menggosok-gosokkan kepalanya ke kaki.

Ia selalu mengikuti kemana Tuan Putrinya melangkah. | Foto: Wahyu Sapta.
Ia selalu mengikuti kemana Tuan Putrinya melangkah. | Foto: Wahyu Sapta.
"Kamu lapar, ya? Nanti, sabar dulu. Aku ingin menikmati pagi hari, sambil melihat bunga-bunga. Kamu mau ikut?" tanyaku pada mereka. Mereka menjawab dengan mengeong dan dengkuran.

Saatnya berkeliling. Menikmati mekarnya bunga hari ini. Berbagai macam bunga ada di halaman rumah yang sempit ini. Tetapi tidak semuanya mekar. Karena musim penghujan, biasanya bunga lebih jarang. Dedaunan yang tumbuh lebih subur menampakkan tunasnya. Tak apa. Hari ini juga masih menjumpai bunga-bunga. 

Bunga Anggrek yang berwarna hijau kekuningan. Jenis dendrobium, bunganya awet hampir sebulan, belum layu. Bahagianya aku. 

Dulu ketika membeli, aku bertanya kepada penjualnya, "ID nya apa?" 

Ia menjawab, "Kuning." 

Memang saat membelinya, bunga masih kuncup kecil, belum terlihat warna bunganya. Yeap, itulah seni menikmati bunga anggrek. Mereka-reka warna bunga, sembari dag dig dug. Tak sabar menanti mekar bunganya satu per satu.

Anggrek Dendrobium ber ID hijau kekuningan berlidah merah. Alhamdulillah. | Foto: Wahyu Sapta.
Anggrek Dendrobium ber ID hijau kekuningan berlidah merah. Alhamdulillah. | Foto: Wahyu Sapta.
Kenyataan saat mekar berwarna hijau kekuningan. Ya, ya, masih ada unsur kuning, meskipun bersemu hijau. Hahaha, padahal yang ada dalam benakku saat itu adalah kuning primer. Tak apa. Tetap indah, kok. Alhamdulillah.

Hei, itu bunga Tapak Dara yang berwarna ungu, meski kecil tetapi tampak cantik. Ia tumbuh di sela pot anggrek. Media yang tak seharusnya bukan miliknya. "Nggak papa, ia berhak hidup. Nggak akan aku cabut." kataku dalam hati.

Bunga Tapak Dara berwarna ungu. Meski kecil, tetap indah. | Foto: Wahyu Sapta.
Bunga Tapak Dara berwarna ungu. Meski kecil, tetap indah. | Foto: Wahyu Sapta.
Lalu putihnya bunga Sabrina yang kecil mungil, di sela hijaunya daun. Tampak putih bersih. Alami. Suka sekali! Bunganya mirip bunga melati, meski tidak wangi.

Bunga Sabrina yang putih bersih di sela hijaunya daun. | Foto: Wahyu Sapta.
Bunga Sabrina yang putih bersih di sela hijaunya daun. | Foto: Wahyu Sapta.
Lihatlah! Bunga Sepatu, rajin berbunga tanpa mengenal musim. Berwarna merah dan merah jambu bersemu putih. Indah, diterpa sinar matahari yang baru saja terbit. Bunga sepatu itu bunga kesayanganku. Aku punya berbagai macam warna loh. Tapi belum punya yang berwarna kuning. Duh, lagi-lagi masih penasaran dengan warna kuning, warna yang kusuka. 

Bunga Sepatu Merah dan Pink. Cantik, kataku. | Foto: Wahyu Sapta.
Bunga Sepatu Merah dan Pink. Cantik, kataku. | Foto: Wahyu Sapta.
Bunga Sepatu Putih. Indah, ketika bercanda dengan serangga. | Foto: Wahyu Sapta.
Bunga Sepatu Putih. Indah, ketika bercanda dengan serangga. | Foto: Wahyu Sapta.
Bunga Sepatu Merah. Masih diselimuti embun sisa tadi malam. Eksotik. | Foto: Wahyu Sapta.
Bunga Sepatu Merah. Masih diselimuti embun sisa tadi malam. Eksotik. | Foto: Wahyu Sapta.
Berdampingan. Tetap rukun, dong. | Foto: Wahyu Sapta.
Berdampingan. Tetap rukun, dong. | Foto: Wahyu Sapta.
Kemarin aku sempat kecewa, ketika bunga sepatu tumpuk warna merah tua, layu sebelum mekar. Padahal bunga pertama, dari adopsi penjualnya. Seperti lagu, ya. Layu Sebelum Berkembang. Berkeping-keping jadinya. Hahaha... tetapi aku berharap, semoga muncul bunganya kembali secepatnya. Biar aku tidak nangis. Ihiks...

Kemarin sempat kecewa, ketika bunga sepatu tumpuk merah tua yang baru pertama kali berbunga, layu sebelum berkembang. Kayak lagu, ya. Berkeping-keping jadinya. Ihiks... | Foto: Wahyu Sapta.
Kemarin sempat kecewa, ketika bunga sepatu tumpuk merah tua yang baru pertama kali berbunga, layu sebelum berkembang. Kayak lagu, ya. Berkeping-keping jadinya. Ihiks... | Foto: Wahyu Sapta.
Tetapi tak apa. Aku tetap bahagia menikmati hari. Tetap akan tersenyum menyongsong matahari.

Masyaallah... Tabarakallah... Betapa pagi ini sangat menyenangkan. Menikmati karunia Tuhan yang begitu menakjubkan, tak mungkin terpungkiri hati. Betapa aku mengucapkan kalimat pujian berkali-kali, atas ciptaan-Nya pagi ini. Semua pencapaian bisa terjadi karena kehendak-Nya. 

Sudah, ya. Aku pamit dulu. Sapu sudah menunggu. Saatnya menyapu halaman, sambil menggerakkan badan. 

Mau minum apa? Teh? Atau kopi? | Foto: Wahyu Sapta.
Mau minum apa? Teh? Atau kopi? | Foto: Wahyu Sapta.
Salam dari hati yang terdalam, 

Wahyu Sapta.

Semarang, 24 Januari 2021. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun