Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Piknik Tipis-tipis Mengenal Alam bersama Pak Suradin Sang Penyadap Legen

31 Oktober 2020   14:01 Diperbarui: 31 Oktober 2020   21:43 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kami kemudian mengobrol dengan Pak Suradin Sang Penyadap Legen berserta istrinya. Dengan dialek khas Rembang, mereka bercerita. | Foto: dok. Wahyu Sapta.

Lokasi di Sulang Rembang, banyak terdapat pohon siwalan yang menghasilkan legen. Bisa dicari dengan google maps. | Foto: dok. Wahyu Sapta
Lokasi di Sulang Rembang, banyak terdapat pohon siwalan yang menghasilkan legen. Bisa dicari dengan google maps. | Foto: dok. Wahyu Sapta
Sampailah ke Sulang. Tetapi hari yang serasa masih pagi, dengan suasana suram basah terkena hujan, penjual legen yang biasanya buka berjejer sepanjang jalan banyak yang tutup. Begitu pula penjual legen langganan saya. Tidak buka. Aduh, bagaimana ini jika jauh-jauh hanya membawa tangan kosong nantinya. 

Kami sabar menunggu legen datang dari kebun sambil mengobrol dengan ibu penjualnya. | Foto: Wahyu Sapta.
Kami sabar menunggu legen datang dari kebun sambil mengobrol dengan ibu penjualnya. | Foto: Wahyu Sapta.
Beruntung salah satu warung legen ada yang buka. Kamipun berhenti. Tetapi kami melihat beberapa brumbung atau bambu yang biasa berisi legen masih kosong. Oh, rupanya masih belum diisi penjualnya. Seorang ibu berteriak dari arah kejauhan, mengatakan bahwa legen baru akan sampai dari kebun. Jika mau, boleh menunggu.

Tentu saja kami mau menunggu, karena tujuan kami ke sini adalah mencari legen. 

Kemudian ibu penjual itu menemui kami. Ia mengatakan jika suasana hujan, jarang yang mencari legen. Berbeda jika hari sedang panas, maka legen laris manis dan banyak yang mencari.

"Nah, Bu, kami memang lagi mencari legen. Sekalian piknik tipis-tipis meskipun hujan gerimis," kata saya. Ibunya tersenyum. Ia mengatakan bahwa banyak juga pembeli yang datang dari luar kota, juga sengaja mencari legen seperti saya. Maksudnya, ia sudah populer di kawasan itu, karena beberapa pembeli merekomendasikan namanya ke teman-temannya agar jika membeli legen ke tempat ibu itu. Kamipun tersenyum.

Beberapa kali saya memotret suasana yang ada di lokasi. Jalanan yang sepi, hanya sesekali yang melewati. Duh, ini berbeda sekali dengan Kota Semarang tempat tinggal saya. Jalanan tak pernah sepi oleh lalu lalang kendaraan. 

Jalanan sepi beraspal, khas pedesaan. Ada seorang bapak membawa pikulan yang berisi brumbung legen. | Foto: Wahyu Sapta.
Jalanan sepi beraspal, khas pedesaan. Ada seorang bapak membawa pikulan yang berisi brumbung legen. | Foto: Wahyu Sapta.
Bahkan saya bertemu dengan bapak-bapak pencari legen sedang berjalan dengan pikulan yang berisi beberapa brumbung bambu. Pasti berisi legen yang baru disandap.

"Itu suami saya, bu. Baru saja dari kebun sebelah sana, mengambil hasil sadapannya."  

Syukurlah, akhirnya ada legen yang masih segar untuk saya bawa pulang.

Kami minta 3 botol besar. Ternyata persediaan legen masih kurang. Lalu suami dari ibu penjual mengambil hasil sadapan dari pohon yang ada di dekat warung. Dengan cekatan ia menaiki pohon siwalan penghasil legen. Saya tak mau kehilangan momen itu, segera memotretnya. 

Dengan cekatan, Pak Suradin memanjat pohon siwalan untuk mengambil hasil sadapannya. | Foto: Wahyu Sapta.
Dengan cekatan, Pak Suradin memanjat pohon siwalan untuk mengambil hasil sadapannya. | Foto: Wahyu Sapta.
Ibu penjual tertawa dengan gayanya yang khas, bahwa suaminya juga sering ketiban potret saat naik ke pohon. Bahkan salah satu televisi swasta pernah mewawancarainya yang meliput tentang legen, katanya. Keren dong, Bu. Bapaknya populer, pernah masuk tivi. Kamipun tertawa bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun