Mengajak jalan orangtua adalah suatu kebahagiaan. Kebetulan hari Minggu, hari luang yang bisa dimanfaatkan untuk bepergian mencari suasana lain.
Berbakti kepada orangtua, adalah tabungan amal kelak di alam keabadian. Layaknya putaran waktu, ketika kita kecil ditimang-timang, dimanja dengan segala fasilitasnya, maka sekarang saatnya bergantian. Memberi kebahagian pada orangtua, meski mereka tak mengharapkan balasan.
Pagi sekali, saya berangkat dari Semarang menuju Pati tempat tinggal orangtua. Lalu menunggu beberapa saat, mereka bersiap untuk berangkat. Kami sekeluarga terbiasa mengajak jalan. Kemana saja, yang penting jalan.Â
Entah makan di suatu tempat, berbelanja buah di pedesaan, atau sekadar melihat pemandangan alam kemudian pulang kembali ke rumah. Itu cukup membuat urat ketegangan sedikit mengendur dan segar kembali. Mereka yang sehari-hari di rumah, juga merasa segar kembali karena melihat suasana luar.
Saya dan suami, juga sering memberi kesempatan orangtua bernostalgia ke tempat dulu pernah mereka singgahi. Sambil mengingat-ingat kenangan, agar memori tak mudah melupa.Â
Sambil berbincang di sepanjang perjalanan, mereka bercerita tempat-tempat yang dilalui memiliki kenangan tersendiri. Dan biasanya, cerita itu akan sama, jika melewati tempat yang sama. Kadangkala kami sudah hafal, tetapi membiarkan cerita itu mengalir. Kami senang mendengarnya, meski pernah mendengar dan tahu.Â
Ayah mertua saya yang sekarang berusia 85 tahun pernah bertugas ke Kota Rembang. Kami mengajak jalan ke sana. Tetapi kami mengajaknya bukan di tengah kota, melainkan di daerah Sulang masih wilayah Rembang, yang terletak di jalur jalan Rembang menuju Blora.
Kami ingin mencari minuman legen. Di sana banyak yang menjualnya, karena penduduk sekitar menanamnya di perkebunan mereka. Jadi masih segar ketika sampai  ke penjualnya.Â
Pohon siwalan banyak tumbuh di daerah berkapur. Dan di Sulang ini tanahnya berkapur, sehingga tumbuh dengan bagus. O, makanya banyak penjual minuman legen dan buah siwalan yang berjajar, ya.
Kami sudah beberapa kali ke sana untuk sekadar menikmati es legen. Bahkan kami memiliki penjual langganan. Bu Karsih namanya. Memang kami sengaja ke sana untuk membeli Es Legen.
Berharap agar warung Bu Karsih buka. Karena beberapa kali pula sering tutup ketika sampai di sana. Syukurlah warungnya buka. Bu Karsih jualan. Bisa menikmati segelas es legen nih.Â
Warungnya berada di tempat terbuka. Hanya berupa meja dan kursi dari kayu yang berada di pinggir jalan beraspal. Beratap rumbia daun kelapa, cukup membuat teduh. Apalagi warung itu berada di bawah pohon Memba yang rimbun.Â
Saya dan suami turun mobil, sedangkan orangtua menunggu di dalam mobil. Agar lebih santai, karena untuk turun kendaraan cukup susah dan membutuhkan tenaga ekstra buat mereka. Jadi lebih nyaman jika di dalam mobil saja.
Kami disambut senyuman ramah Bu Karsih. Ia memakai masker, hanya saja dibuka dan disampirkan ke dagunya. Ya, ya. Musim pandemi, harus tetap memakai masker. Kami sendiri tetap mengenakan masker agar aman.Â
Beberapa wadah bambu atau brumbung berjajar di warung Bu Karsih. Tampaknya memang baru saja legen dipanen dari pohonnya. Beruntungnya kami, mendapatkan legen yang masih segar. Karena legen ini hanya bertahan beberapa jam. Jika melebih 4 jam akan berbeda rasa. Lebih masam dan jika lama lagi, akan mengalami fermentasi menjadi tuak. Bisa memabukkan dong karena mengandung alkohol.
Bu Karsih tidak hanya menjual legen saja. Beberapa jajanan sederhana seperti kerupuk, gethuk dan kacang juga tersedia. Saya hanya tertarik pada legennya. Saya kemudian memesan 4 gelas. Dua memakai es batu, sedangkan lainnya tidak. Untuk bapak dan ibu yang menunggu di mobil.
Saya tak hanya minum segelas, tetapi meminta tambahan satu gelas lagi. Rasanya tertuntaskan dahaga ini dan rasa segar yang berbeda. Es legen Bu Karsih ini asli. Tidak ditambah air, murni legen saja.Â
Saya sempat berbincang pada bapak tua yang duduk di warung Bu Karsih. Ternyata beliau yang mengambil legen tersebut, untuk kemudian dititipkan ke warung. Fresh from the tree dong. Hehehe...
Saya bertanya, apa masih berani naik pohon yang tinggi untuk mengambil air legen? Ia menjawab, memang itu keahliannya dari sejak muda sampai sekarang. Karena ia tidak pandai melaut. Jadi ia memilih profesi sebagai penyadap. Memang lokasi tempat es legen ini dekat dengan laut. Jadi banyak nelayan juga.
"O, begitu ya pak. Jadi ini asli dari pohonnya ya." Ia mengiyakan dengan cepat.
"Asli bu, wong saya yang mengambilnya sendiri," katanya.
Iya deh pak. Kami percaya. Dari rasanya juga percaya ini asli legen.Â
Tak puas hanya minum di sana, kami lalu memesan satu botol besar legen untuk di bawa pulang. Bisa untuk oleh-oleh yang di rumah. Ketika sampai, harus langsung dikonsumsi agar tak menjadi tuak.
Tetapi saya penasaran dengan minuman yang berwarna coklat di wadah botol minuman mineral.
"Ini apa, bu?" tanya saya.
"Itu gula merah cair. Dari legen juga, yang dimasak lama hingga berwarna kecoklatan. Rasanya tentu manis seperti gula merah biasa. Nanti diseduh memakai air," jawabnya.Â
"Dijual juga?"
"Dijual lah bu. Harganya lima belas ribu satu botolnya." jawab Bu Karsih.
"Saya ambil tiga, ya," kata saya.
Harganya murah meriah. Es Legen satu gelas hanya tiga ribu rupiah saja. Sedangkan legen yang dibawa pulang seukuran botol besar air mineral dibandrol sepuluh ribu rupiah. Mantap deh. Saya ikut bahagia juga dong.
Kami kemudian pamit dan membawa tentengan oleh-oleh buat yang di rumah. Saya bilang ke Bu Karsih kapan-kapan saya akan mampir kembali.
Saatnya pulang. Membawa bahagia yang beruntun. Pengalaman yang berharga, bertemu dengan orang-orang meski dengan jaga jarak, dan jiwa menjadi segar kembali. Kebahagiaan kami menular. Orangtua kami bahagia.Â
Membahagiakan orangtua, berarti juga membahagiakan diri sendiri, bukan? Bagai efek domino, bahagia itu menyebar dan beruntun. Juga bisa menjadi ladang amal kelak. InsyaAllah.
Pati, 13 September 2020.
Salam,
Wahyu Sapta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H