Pada masa pandemi ini, hampir seluruh masyarakat mengurangi kegiatan keluar rumah. Dan memang, suatu hal yang paling aman adalah lebih baik berada di rumah selagi tidak ada keperluan mendesak. Misalnya bekerja, berbelanja kebutuhan pokok, dan hal-hal tidak bisa ditinggalkan.Â
Lebih banyak waktu berada di rumah, sebisa mungkin membuat nyaman diri sendiri dengan kondisi yang ada. Apalagi ketika bekerja juga lebih banyak WFH, maka dengan sendirinya lebih sering berada di rumah.Â
Ngerti kan bagaimana keadaan ketika kita berada di rumah? Tempat tersantai, karena tidak harus bertemu dengan orang lain.Â
Dalam hal berbusana, juga tidak perlu repot, ribet, dan resmi. Kaos oblong, celana pendek, daster. Bahkan bisa jadi saat rapat dengan teman kantor atau bertemu kolega secara online, baju atasan rapi tapi baju bawahnya santai memakai celana kolor.
Begitulah kehidupan di era new normal. Perubahan perilaku berimbas juga pada perilaku lainnya, gaya hidup, juga masalah fesyen. Misalnya, jika pada masa sebelum pandemi, masker bukan kebutuhan, maka setelah pandemi menjadi kebutuhan.Â
Masker juga bisa menjadi fesyen, dengan beraneka model dan corak. Disesuaikan dengan gaya busana yang dipakai, sehingga masker tersebut serasi saat dikenakan. Apalagi bagi wanita, yang lebih memperhatikan gaya busananya. Tak mau mati gaya meski harus memakai masker saat keluar rumah.Â
Nah, karena di masa sekarang lebih banyak berada di rumah, maka mau tak mau menjadi jarang memakai busana resmi untuk ke kantor atau pergi keluar rumah. Lebih fokus berada di rumah, menjadikan perilaku dalam berbusana juga berbeda. Yaitu lebih sering memakai baju yang santai, daripada baju resmi.
Demikian juga saya, di masa pandemi ini lebih banyak di rumah. Jarang bepergian jika tidak begitu penting. Mengurangi aktivitas keluar rumah agar bisa memutus rantai penularan virus. Saya sih berharap, dengan mengurangi aktivitas keluar rumah, bisa berpartisipasi memutus rantai penularannya, meski hanya sedikit.
Karena seringnya berada di rumah, maka busana sehari-hari menjadi lebih sering memakai baju rumah. Jika sedang bepergian, saya memakai baju busana muslim, dan tak lupa masker.Â
Pernah saya lupa memakai masker, tetapi untungnya saya selalu siap masker di dalam kendaraan. Jadi ketika lupa tak perlu cemas. Ada masker cadangan yang bisa dipakai.Â
Dan saat di rumah, saya lebih menyukai memakai busana yang longgar, nyaman, agar tidak mengganggu saat beraktivitas di rumah. Juga lebih rileks, karena tidak harus bertemu dengan orang lain.Â
Kecuali jika ada tamu, itupun jarang ada tamu pada saat pandemi sekarang ini. Baju santai saat di rumah yang sering saya pakai adalah daster.
Tren Daster Kekinian
Jangan pernah menawari ibu-ibu daster, ya. Karena pasti mereka akan mengiyakan. Daster adalah busana ternyaman saat berada di rumah buat mereka. Apalagi jika bahan kainnya adem. Meskipun sudah bolong-bolong, tetap akan menjadi baju ternyaman.Â
Daster adalah baju "kebesaran" yang disukai, karena longgar tidak bikin gerah jika dipakai sebagai baju sehari-hari. Memang tidak semua ibu suka sih, ada beberapa yang tidak suka mengenakan baju daster saat di rumah, tetapi tak banyak.
Ketika berada di kantor, bepergian, atau bertemu teman, ibu-ibu kelihatan keren dengan outfit yang trendi, tetapi ketika sampai di rumah, mereka akan kembali memakai baju "kebesaran", yaitu: daster!
Di masa pandemi ini, semakin gencar promosi tentang daster. Tren daster kekinian, memang baru laris. Karena ibu-ibu lebih banyak di rumah, maka kebutuhan akan baju rumah alias daster juga bertambah. Tetapi harus jeli dalam membeli, ya. Apalagi jika pembelian itu lewat online.Â
Berbagai macam corak kain, warna, dan model berseliweran di grup WA maupun media sosial. Tampak bagus dan keren. Perang harga, berusaha memberikan harga termurah, agar menarik pembeli.Â
Diskon, bonus jika membeli banyak, juga tawaran reseller. Jika lapar mata, jangan-jangan bisa memborong semua daster, karena semuanya suka.
"Jika dijual kembali atau reseller, malah bisa menjadi bisnis baru, sekaligus menambah pendapatan. Juga membantu UKM yang memproduksi baju daster tersebut," begitu promosinya.
Tren daster kekinian, dengan corak abstrak, batik, bunga-bunga, wayang, dan masih banyak lagi. Berbahan adem dan murah menjadi daya tarik. Saya pun tertarik untuk membelinya. Harganya murah, 45 ribu per potong. Tawaran yang menarik itu, membuat pertahanan saya goyah.Â
Apalagi tawaran itu dari teman saya sendiri yang sudah saya kenal.
"Kalau mau reseller 40 ribu, mbak." kata teman saya lewat WA. Akhirnya saya mengiyakan untuk mencoba membeli 6 potong. Janji saya, kalau bahannya bagus, nanti saya tertarik untuk ikut menjualkan.Â
"Saya tidak tega jika harus menjual barang yang tidak bagus kualitasnya." begitu kata saya.
Akhirnya koleksi daster saya bertambah. Karena memang saya membutuhkan untuk menambah baju di rumah. Beberapa daster lama sudah banyak yang robek dan aus, meski saya masih suka memakainya. Hehehe...
Daster sampai juga di rumah. Dan... memang segala sesuatu yang menyangkut barang, apapun itu, ada harga ada rupa. Artinya bahwa barang yang berharga murah, tentu saja sesuai dengan harga dan kualitasnya. Apalagi membeli barang lewat online, tidak bisa memilih dan melihat kualitasnya.Â
Dasternya memang adem, coraknya bagus, karena pada saat di foto tampak bagus. Tetapi ketika dipakai baru beberapa kali sudah robek di beberapa tempat. Bahan kainnya santung, mudah robek, juga jahitannya tidak kuat.Â
Nah, saran saya kalau memang niat untuk menambah koleksi daster nih, ada baiknya yang berbahan kain katun. Harganya sedikit lebih mahal, tetapi awet. Juga lebih bagus jangan lewat online, takutnya tidak cocok seperti ekspektasi.
Saya sih tidak menyesal telah membeli daster tersebut, karena paling tidak saya telah membantu UKM yang memproduksi daster tersebut. Daster itu juga nyaman dipakai, adem, coraknya bagus sesuai selera. Tetapi pending. Nanti saja saat pandemi telah berlalu, saya berniat untuk membeli daster bukan secara online. Bisa memilih bahan yang lebih bagus dan awet.Â
Saya juga terbiasa menjahit ulang sendiri baju daster saat baru dibeli. Biar awet dan tidak mudah sobek. Karena daster adalah baju "kebesaran" yang ringgo alias garing di enggo. Yang artinya begitu kering dari cucian, langsung dipakai lagi.
Hidup daster!
Semarang, 18 Juli 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H