20 Mei 1908, Organisasi Boedi Oetomo (Budi Utomo) lahir. Sebagai organisasi modern pertama di Indonesia, kelahirannya dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang setiap tahunnya diperingati.
Budi artinya kepribadian. Sedangkan Utomo artinya luhur. Bangsa Belanda waktu itu melihat lahirnya Budi Utomo sebagai bangkitnya Indonesia.Â
Di organisasi itu banyak pemuda Indonesia melatih dirinya dan menjadi pemimpin dari berbagai organisasi pergerakan kemerdekaan yang lahir kemudian.
Sejak 1959, tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Hari nasional yang bukan hari libur, ditetapkan oleh pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 sebagai peringatan peristiwa Kebangkitan Nasional Indonesia.
Semangat Kebangkitan Nasional = Semangat Melawan Pandemi
Di tahun 2020 ini, tidak dinyana telah tersebar pandemi yang telah mendunia. Bagaimana ketika awal memasuki Indonesia, wabah ini membuat panik masyarakat. Semua takut terkena virus pandemi, karena berbahaya dan tidak kelihatan.Â
Barisan yang tidak kelihatan ini (kecuali jika memakai alat mikroskop), bisa menyerbu siapa saja tanpa pandang bulu. Bahkan jika kita tidak kuat, akan menjadi korbannya.Â
Korban berjatuhan satu per satu. Kematian terus mengintip. Telah banyak korban. Sedih rasanya, ketika mendengar penderita yang positif Covid-19 semakin bertambah.Â
Maka itu, agar korban tidak semakin bertambah, dengan berbagai cara, masyarakat dan pemerintah mengupayakan agar bisa memutus rantai penyebaran virusnya.
Rajin mencuci tangan dengan air dan sabun. Memakai hand sanitizer setelah memegang sesuatu ketika bepergian. Menghindari kerumunan, menjaga jarak, hingga berdiam di rumah sudah diupayakan.Â
Menjaga kesehatan tubuh dengan makan makanan yang bergizi. Berolah raga yang cukup. Juga sudah dijalankan.
Ketika pandemi ini tak segera berlalu, tingkat kejenuhan pasti akan semakin tinggi. Tanpa semangat yang menyertai, maka segala upaya yang telah dilaksanakan akan sia-sia.
Ujung-ujungnya ketika tingkat kebosanan tinggi, banyak yang akan melanggar aturan. Padahal sudah beberapa bulan dijalankan dengan tertib seperti saat awal pandemi. Sia-sia saja usaha itu.
Akibatnya virus akan semakin sulit dikendalikan agar berhenti penyebarannya. Sungguh mengerikan.
Dua Sisi Berlawanan, Harusnya Bisa Kompak Melawan Pandemi
Saya memiliki teman yang bekerja di Jakarta. Sebut saja namanya Bintang. Sebagai kepala keluarga, ia bekerja merantau di Jakarta meski keluarganya tinggal di Semarang.Â
Di hari biasa, ia pulang ke Semarang dua minggu sekali. Tetapi saat pandemi ini, hampir tiga bulan tidak pulang. Bukannya ia tak sayang keluarga dan mengabaikannya. Tetapi justru karena begitu sayangnya pada keluarga, ia rela memendam rasa rindu. Ia takut bisa menularkan virus, meski ia merasa sehat.
Setiap hari ia harus cek suhu tubuh dan dilaporkan ke kantornya. Ia menjalani WFH. Dan beberapa rapat ia jalankan lewat telekonfren.Â
Saya salut, karena memendam rindu itu sunggu berat. Jauh dari keluarga demi kenyamanan dan kesehatan semuanya.Â
Jika tak memiliki semangat yang tinggi dan karena begitu cintanya kepada keluarga, ia pasti tidak akan kuat. #Rindu itu berat, biar aku saja#.
Agaknya memang patut diacungi jempol, dengan menyamakan semangatnya melawan pandemi itu dengan semangat kebangkitan nasional yang pada tanggal 20 Mei ini diperingati. Hebat!
Dan ketika saya tanya, apakah lebaran ini ia akan pulang? Jawabnya tidak. Ia masih bertahan akan prinsipnya tentang memutus rantai penyebaran Covid-19Â dengan tidak pulang kampung ataupun mudik. Meski lebaran menantinya di kampung halaman dan bisa berkumpul dengan keluarga.Â
Jadi, ia patut didukung. Ia rela berkorban dengan dirinya, demi sayang keluarga dan memutus rantai penularan pada umumnya.Â
Seharusnya begitu. Jika kompak dan semua masyarakat melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan, saya yakin pandemi akan segera berlalu.
Di sisi lain, saya sangat prihatin dengan berita akhir-akhir ini. Ketika masyarakat tidak bisa membendung nafsunya hanya untuk berbelanja di mall dan pasar, demi menyambut lebaran. Katanya lebaran itu ya baju baru. Lalu menyerbu mall membeli baju baru, meski harus dengan berdesak-desakan. Uuuff...
Hal itu tidak saja merugikan dirinya sendiri, tetapi juga banyak orang. Sungguh prihatin. Padahal, jika saja mau untuk tahun ini saja, tidak usah harus memakai baju baru pasti bisa.
Satu sisi, ada yang mencoba bertahan agar penyebaran virus tidak semakin luas, eh, di sisi lain banyak yang melanggarnya hanya demi nafsu duniawi saja.Â
Saya berharap di masa pandemi ini, semua harusnya bisa saling menahan diri. Bersama-sama melawan pandemi dengan semangat yang sama.Â
Saya juga berharap, lebaran yang sebentar lagi datang, tetap bermakna mesti tanpa baju baru. Lebaran akan tetap memiliki nuansa lebaran, meski tanpa bertemu dengan keluarga. Â
Lebaran sebentar lagi. Lebaran di masa pandemi ini, semoga bisa dilalui dengan tetap suka cita, meski dengan rasa prihatin dan tanpa baju baru.Â
Tetaplah semangat, agar pandemi segera berlalu. Seperti semangatnya para pemuda di tahun 1908, yang pada hari ini sedang diperingati.
Selamat menyambut Hari Lebaran & Selamat Memperingati Kebangkitan Nasional.
Semarang, 20 Mei 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H