Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Daripada Gondrong Jadi Membeli Alat Cukur Sendiri

15 April 2020   18:39 Diperbarui: 16 April 2020   18:10 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu ada paket datang. Anak-anak langsung menyambutnya dengan riang. Tapi saya tetap dengan nada cerewet mencegah, agar anak-anak jangan terlalu bersemangat membukanya. Harus ada prosedur cara menerima paket. 

Ya. Paket harus disemprot disinfektan terlebih dahulu, dan dibiarkan beberapa waktu, baru boleh dibuka. Bungkusnya langsung dibuang ke tempat sampah. Sedangkan barangnya dibiarkan terlebih dahulu. Itupun saya memintanya agar tidak segera dipakai, alias dibiarkan semalam. 

"Besok saja mencobanya." kata saya. 

Alat cukur listrik, paket yang datang sore itu. 

Pemilik ide membeli alat cukur, datang dari suami. Katanya sudah nggak tahan untuk gondrong. Sedangkan yang memesan anak perempuan lewat belanja online. Tidak usah yang terlalu mahal, ya. Kata saya. Cukuplah awet untuk masa sekarang. Selama masa pandemi. 

Keesokan harinya, mereka segera mencoba alat cukur. Kebetulan saya memiliki anak laki-laki yang sudah gatal ingin dicukur. Bapaknya juga sudah ribut. Gondrong itu bikin kepala gerah, karena tidak biasa gondrong. Padahal baru musim pandemi. Tidak berani ke tukang cukur. 

Bukan apa-apa. Hanya mencegah bertemu orang lain dengan aturan physical distancing. Kalau bercukur, harus dekat dengan tukang cukurnya, kan? 

"Memangnya bapak bisa nyukur?" tanya saya. 

"Ya enggak lah..." jawabnya dengan cepat. Lalu disambung dengan tawa berderai. 

"Nggak bisa nyukur, tapi beli alat cukur?" 

Dia lalu senyum. "Jangan kuatir," katanya. 

Jadi, pekerjaan apapun yang masih kelihatan dan tampak, adalah hal yang bisa dikerjakan. Itu rumusnya. Jangan takut salah, bu. Semua bisa dilakukan dengan belajar. Learning by doing. Cieee... 

Mereka bergantian saling mencukur. (Foto: Wahyu Sapta).
Mereka bergantian saling mencukur. (Foto: Wahyu Sapta).
Baiklah. Seru-seruan. Bapak mencukur anaknya dan gantian anak mencukur bapaknya. Siapa takut? Saya suporternya. Penyemangat sekaligus tim penilai. Dan juga tim pentertawa, ketika mereka bingung harus berbuat apa. 

"Bapak digundul aja ya?" kata anak lelaki sambil mengusap keringat. Wajahnya serius. Saya tertawa berderai. 

Gimana nggak lucu coba? Itu adalah sebuah simbol rasa putus asa ketika nyaris nggak tahu harus bagaimana caranya mencukur. Karena dengan memotong gundul adalah cara termudah mencukur rambut. 

"Ayo dong, pasti bisa." 

Ia dengan tangan kidalnya mencoba lagi. Tentu saja, sekarang ia melakukannya sambil tertawa bahagia dan hati riang, karena menemukan hal baru. Dan akhirnya berhasil juga! Meski dengan berkeringat, karena baru pertama kali mencoba. 

Ya, ya. Memang hasilnya tidak serapi ketika mencukur ke ahlinya alias ke tukang cukur. Tapi kan lumayan. Untuk pengalaman pertama dan berhasil. 

Ketika Bapaknya saya tanya, "Gimana rasanya?" 

Jawabnya, "Cukup menegangkan," 

Saya pun tertawa berderai kembali. Kelucuan ini, membuat kami bahagia. Ternyata bahagia itu sederhana, ya. Tidak perlu macam-macam. Kita bisa membuat kebahagiaan sendiri dengan keluarga tercinta, tak harus ribet. Dan juga, konon bahagia bisa meningkatkan imun tubuh. Saat ini, baru dibutuhkan, loh. 

Baiklah, kondisi ini memang hanya sementara. Kalau sudah melewati masa pandemi berlalu, maka bolehlah ke tukang cukur lagi. Karena tetap saja, kita adalah makhluk sosial. Ada rumus simbiosis mutualisme. Saling membutuhkan. 

Dan setiap orang memiliki keahlian masing-masing, ya. 

Semarang, 15 April 2020. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun