Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nasi Goreng Cinta

25 Maret 2020   17:56 Diperbarui: 25 Maret 2020   18:04 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau mencari saya, ada di dapur, ya!" kata Bunda. 

"Bun, mana kopi Ayah?" tanya Ayah. 

"Bun, bikin camilan yang enak dong. Adik lapar nih. Bawaannya pengin makan mulu," pinta Adik di depan hape dan bukunya. 

Begitulah yang terjadi sekarang saat ada anjuran stay at home, work from home, dan belajar di rumah. Rumah semakin meriah, ramai, dengan segala problematikanya. 

Ada Bunda yang cerewet, dikit-dikit menyuruh cuci tangan. Atau menyuruh mandi. "Adik, meski tidak sekolah, tetap mandi ya. Apalagi ini lagi ada virus corona, loh. Harus rajin mandi." 

Adik langsung berangkat mandi. Padahal biasanya bilang entar. Ternyata ia juga takut corona. Ya iya lah. Bahaya juga. Bayangin, virus yang bunder-bunder, berbulu, kecil, mengerikan. Apalagi tidak kelihatan. Tiba-tiba masuk ke paru-paru. Bisa mengambil nyawa. Ih, takut, ah. 

Semua jadi rajin terhadap kebersihan. Kalau pergi sebentar memakai masker. Ke warung, atau berbelanja ke pasar. Datang lalu cuci tangan pakai sabun. Tapi, Adik suka lupa kalau tidak diingatkan. Harus sering diingatkan. Makanya Bunda tak pernah lelah untuk menjadi cerewet. 

Saat ini Bunda juga selalu menggerutu karena tidak pernah keluar dapur. Masak melulu, untuk memenuhi request penghuni rumah. Atau cuci piring tak ber'ending'. Mengalir bagai air sungai menuju muara. Meskipun kadang dibantu Kakak.

Belum lagi mengurus yang lainnya. Pekerjaan, menulis, atau menyiram bebungaan kesukaan Bunda. Tapi Bunda tetap tersenyum. Biar selalu bahagia dan tidak stres. Karena katanya kalau terlalu banyak pikiran, nanti menurunkan imunitas tubuh. Bisa jadi, nantinya corona gampang masuk. Hiii, Bunda nggak mau. 

Nah, ketika sedang menikmati bebungaan sambil menyiram, Bunda melihat cabai rawit berbuah. Ada delapan dihitungnya. Yang lima biji sudah boleh dipanen. Petik! Aha! Bunda bahagia. 

"Cocok nih buat bikin nasi goreng," seru Bunda. 

Lalu dengan semangat empat lima Bunda ke dapur. 

"Duh, lagi-lagi dapur melulu." keluhnya. "Eh, tapi nggak papa deh, mereka kan suka nasi goreng. Kali ini pakai cabai yang diambil dari kebun sendiri. Pasti lebih enak. Apa sih yang tidak buat mereka," batin Bunda. 

Diambilnya ulegan. Meski tidak begitu pintar menguleg, tapi sukses juga. Bumbunya hanya cabai, bawang merah, bawang putih, garam, dan terasi. Oh ya. Ada satu lagi. Memakai bumbu rahasia. Criiiing... bumbu cinta! 

Sreng... sreng... sreng... 

Taraaa... 

Nasi Goreng Cinta siap disantap! Nasi goreng telah tersaji di piring besar dan ada di meja makan. 

"Buuun... bau apa ini? Kok enak banget? Nasgor, ya?" seru Adik dari ruang tengah. Ia memang penggemar berat nasi goreng nomor dua. Yang nomor satu adalah Ayah. Bunda sendiri tidak begitu suka. Hanya suka memasaknya saja. Dan akan bahagia apabila masakannya tandas. 

Lalu adik ke meja makan. Tapi adik malah cekikikan. 

"Apa sih, dik? Kok malah ketawa?" 

"Gitu ya, Bun. Bentuknya love. Sudah difoto belum, Bun?" 

Adik cekikikan karena Bunda menyajikan nasi goreng berbentuk love di piring. 

"Sudah." 

"Boleh dimakan?" 

"Boleh. Sudah sana. Makan dulu. Kakakmu mana? Ajak sekalian makan." 

"Ogah, biar dia sendiri ke sini." 

"Tuh, kan..." Bunda menggerutu. Adik lalu patuh. 

"Baik Bun. Kakaaak... makan dulu." 

"Iyaaa..." sahut yang di dalam kamar. 

Ayah tiba-tiba nimbrung juga di ruang makan. 

"Masak apa, Bun?" 

"Nasi goreng kesukaan Ayah," 

"Alhamdulillah. Bunda tahu aja. Ayah lapar. Boleh makan?" 

"Bolehlah, Ayah. Ih, ayah pakai minta izin segala." kata Bunda. 

"Enak nih." 

Ketika nasi goreng tandas disantap berempat. Adik balik lagi ke ruang tengah. Kakak juga kembali ke kamarnya. Hanya ada Bunda dan Ayah di ruang makan. 

"Bun..." panggil Ayah. 

"Apa?" 

"Kalau tiap hari WFH, lumayan juga ya?" 

"Lumayan apa, Yah?" 

"Lumayan bisa memandang Bunda tiap menit. Bunda tambah cantik," 

Bunda terbahak. Ayah biasa begitu. Suka merayu. Padahal maksudnya minta dibuatkan kopi lagi. 

"Ayah minta kopi lagi, ya?" 

"Iya. Makasih ya Bun. Kamu baik deh." 

Bunda pura-pura cemberut. 

Panen cabai rawit lima biji. (Foto: Wahyu Sapta).
Panen cabai rawit lima biji. (Foto: Wahyu Sapta).
Semarang, 25 Maret 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun