Jika kita membayangkan seorang bakul jamu, pasti dagangannya digendong dengan selendang, dan memakai kain  kebaya. Lalu menjajakan jamu dagangannya dengan berteriak: "Jamuuu..."Â
Berbeda dengan Mbak Yem, yang menjual jamunya dengan menaiki sepeda motor. Sehingga ia bisa menjangkau area yang lebih luas dan sudah memiliki banyak pelanggan. Cara menawarkannya juga unik. Dengan membunyikan klakson motornya yang memang sengaja dibuat keras.Â
Tiap pagi sekitar pukul 08.00, Mbak Yem lewat depan rumah. Suara klakson motor jamu Mbak Yem mudah dikenali. Ia biasa membunyikannya di depan rumah pelanggan. Begitu pula saat melewati rumah saya. Kadang saya membeli, kadang juga membiarkan ia berlalu begitu saja.Â
Ia telah lama berkecimpung di bidang jamu ini. Jamunya enak, kental, dan memakai gula aren asli, tanpa bahan pengawet. Ia meracik dan membuat jamunya sendiri. Bisa dibuktikan dengan tangannya yang selalu kuning karena terkena kunyit. Kemudian dijajakan olehnya sendiri, suami dan kakak perempuannya di tempat yang berbeda.Â
Karena jamunya enak dan asli, banyak yang menyukainya. Eit, selain jamu, ia juga membawa dagangan jajanan pasar, krupuk, dan pisang, loh. Bahkan kadang dagangan jajanan itu lebih banyak dari jamunya.Â
Saya sering nyeletuk, "Mbak, ini jualan jamu atau jajan, sih?" Ia pun kemudian terkekeh dan menjawab, "Dua-duanya."Â
Pada waktu itu saya belum tinggal di sana. Pantas saja, saya tahunya ketika ia berdagang jamu dengan naik sepeda motor. Dulu saya sempat terheran dan membatin, "Wah, zaman modern, bakul jamu aja naik motor." Tetapi karena sudah terbiasa, maka rasa heran itu menghilang.Â
Saya berlangganan jamu sejak lama, ketika anak saya masih kecil dan baru pindah ke tempat tinggal saya sekarang di Semarang. Terkadang saya hanya membeli jajannya. Memang tidak tiap hari, sih. Hanya pada saat membutuhkan saja.Â
Mbak Yem ini pintar bercerita. Jadi kalau ada pembeli, ia mengajak cerita. Apapun topik pembicaraan, ia selalu bisa menanggapi. Seperti isu wabah Corona yang baru merebak ini.Â
"Mbak, jamunya tambah laris ya?" tanya saya.Â
"Iya, Alhamdulillah. Akhir-akhir setelah berita Corona itu, bisa habis dalam waktu yang singkat. Jika biasanya siang hari baru habis, maka jam 10 bisa saja sudah habis. Bahkan suami saya yang berjualan di Sampangan bisa menghabiskan 17 jerigen isi 5 liter."Â
Ia sendiri biasa membawa 7 jerigen. Alhamdulillah. "Banyak yang cari jamu akhir-akhir ini. Sampai motor saya merasa berat. Saya sudah tiga kali ganti motor, loh. Dari sejak awal berjualan pakai motor hingga sekarang," katanya.Â
"Tapi bukan jamunya saja yang bikin berat. Pisang-pisangan yang dibawa itu pula yang bikin berat," balas saya. Ia terkekeh.Â
Ia kemudian bercerita bahwa di kampungnya rata-rata adalah pembuat jamu. Ia memang tinggal di Kampung Jamu Wonolopo Mijen Semarang. Dan suaminya Pak Kholidi merupakan Ketua Paguyuban Jamu Gendong di sana.Â
Jamu yang dijajakan antara lain kunir asem, beras kencur, temulawak, brotowali, jamu daun pepaya, dan cabe puyang. Yang saya sukai hanya beras kencur dan kunir asem yang tidak pahit. Mbak Yem sudah hafal.Â
Jamu tersebut ditaruh dalam botol kaca. Beberapa juga dibawa dengan wadah jerigen. Kemudian ia menuangkannya dalam gelas yang ia bawa dari rumah jika ada pembeli.Â
Jamu yang diraciknya tidak memakai bahan kimia, hanya tahan satu hari dalam suhu normal. Maka itu akan cepat basi jika tidak diletakkan dalam lemari pendingin. Kecuali jika akan dihabiskan seketika.Â
Saya biasa membeli jamu darinya memakai botol mineral, satu botolnya seharga sepuluh ribu rupiah. Jika diminum memakai gelas seharga lima ribu rupiah.Â
Oh ya, betewe, semoga virus corona tidak meluas, ya. Karena memang berbahaya, juga membuat panik masyarakat dan mengganggu stabilitas semuanya. Update terakhir di Jateng, anak sekolah diliburkan mulai tanggal 16 sampai 29 Maret 2020.Â
Semarang, 15 Maret 2020.Â