"Iya, Alhamdulillah. Akhir-akhir setelah berita Corona itu, bisa habis dalam waktu yang singkat. Jika biasanya siang hari baru habis, maka jam 10 bisa saja sudah habis. Bahkan suami saya yang berjualan di Sampangan bisa menghabiskan 17 jerigen isi 5 liter."Â
Ia sendiri biasa membawa 7 jerigen. Alhamdulillah. "Banyak yang cari jamu akhir-akhir ini. Sampai motor saya merasa berat. Saya sudah tiga kali ganti motor, loh. Dari sejak awal berjualan pakai motor hingga sekarang," katanya.Â
"Tapi bukan jamunya saja yang bikin berat. Pisang-pisangan yang dibawa itu pula yang bikin berat," balas saya. Ia terkekeh.Â
Ia kemudian bercerita bahwa di kampungnya rata-rata adalah pembuat jamu. Ia memang tinggal di Kampung Jamu Wonolopo Mijen Semarang. Dan suaminya Pak Kholidi merupakan Ketua Paguyuban Jamu Gendong di sana.Â
Jamu yang dijajakan antara lain kunir asem, beras kencur, temulawak, brotowali, jamu daun pepaya, dan cabe puyang. Yang saya sukai hanya beras kencur dan kunir asem yang tidak pahit. Mbak Yem sudah hafal.Â
Jamu tersebut ditaruh dalam botol kaca. Beberapa juga dibawa dengan wadah jerigen. Kemudian ia menuangkannya dalam gelas yang ia bawa dari rumah jika ada pembeli.Â
Jamu yang diraciknya tidak memakai bahan kimia, hanya tahan satu hari dalam suhu normal. Maka itu akan cepat basi jika tidak diletakkan dalam lemari pendingin. Kecuali jika akan dihabiskan seketika.Â
Saya biasa membeli jamu darinya memakai botol mineral, satu botolnya seharga sepuluh ribu rupiah. Jika diminum memakai gelas seharga lima ribu rupiah.Â