"Pernah ada pembeli yang khusus datang dari Semarang melewati jalan tol, hanya untuk menikmati Kupat Blengong ini."
Hari Minggu kemarin (19/01/20), saya mengunjungi Pagerbarang Tegal. Ada kepentingan di sana untuk bertemu dengan seseorang. Dari Semarang saya berangkat pagi, berdua dengan suami. Pukul 05.30 berangkat dari rumah.Â
Kurang lebih dua jam ketika sampai di pintu keluar Tol Adiwerna Tegal. Ongkos yang dipotongkan ke kartu tol saya sebesar 141.000 rupiah, yang terhitung dari Pintu Tol Kalikangkung. Tetapi jika dari pintu masuk Tol Kota, masih ditambah 5.000 rupiah.Â
Kemudian saya meneruskan perjalanan. Saya menuju ke Pagerbarang Tegal harus melewati Jatibarang Brebes. Itu jarak terdekat yang ditunjukkan oleh Google Maps saat saya meminta bantuannya. Ini adalah kali pertama saya mengunjungi lokasi tersebut. Meskipun jalan yang harus ditempuh masih terasa asing, berliku, tetapi tetap saya ikuti. Dan Alhamdulillah sampai juga di tempat yang dituju. Tentu saja dengan meminta share location sebelumnya, agar arahnya tidak nyasar.
Setelah urusan selesai, hari sudah menjelang siang. Saya bertanya, "Selain tahu aci dan soto tauto, apa makanan khas lainnya dari kota Tegal?" Karena memang dua-duanya, sudah pernah saya rasakan.
Lalu salah seorang dari kami bertiga menjawab, "Kita coba Sate Blengong yuk,"
"Eh, makanan apaan tuh?" Saya bertanya sambil bengong. Apakah Blengong itu adalah bagian dari bengong? Lalu dijawabnya, "Bukaaan...."Â
Karena kepo, maka saya iyakan saja. Yang ada di benak saya, Blengong adalah nama sebuah tempat. Duh, jangan-jangan nanti sate kambing? Padahal ada yang tidak boleh makan daging kambing. Saya kemudian searching di google. Ternyata Blengong adalah hewan hasil perkawinan antara bebek dan mentok (entok). Sejenis unggas, bukan kambing seperti dugaan saya. Hahaha... Baiklah, saya lega.Â
Daging Blengong banyak ditemukan di Kota Tegal dan Brebes. Di kota lain hampir tidak ada. O, pantas saja, saya baru mendengarnya. Padahal daging unggas ini sudah lama ada sejak tahun 1970, loh. Berarti saya yang kurang piknik ya.
Katanya, tekstur dagingnya mirip bebek yang memiliki serat, tapi lebih lunak dan lembut saat dikunyah. Dengan tekstur tersebut, maka daging blengong cocok untuk diolah menjadi sate. Konon katanya juga, jika disate rasanya mirip daging kambing. Oh ya?Â
Kami kemudian menuju ke daerah Jalan Sawo, Kraton, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. Di sana banyak yang menjual Sate Blengong. Ada Sate Blengong Pak Nanang, Pak Yanto, Pak Diryono dan yang lainnya. Makanan ini sudah lama ada, dan di Jalan Sawo ini pusatnya.Â
Tapi, eh, saat melintas di lokasi yang masih sama di Jalan Sawo agak ke pinggir, ada warung yang sudah buka menjajakan Kupat Blengong dan Sate Blengong juga. Warungnya Mba Rum. Kamipun mampir. Dan lagi-lagi harus kecewa, ternyata mereka belum siap dengan bahannya, karena makanan masih dalam perjalanan. Minuman saja yang sudah tersedia.Â
Lalu kami menuju kendaraan untuk segera berlalu. Dan aha! Sebelum sempat masuk mobil, Ibu penjual datang dengan naik sepeda motor membawa bahan sajian makanannya.Â
Memang, ya, kalau sudah rezeki, pasti akan berjodoh! Lalu kami kembali dan duduk di tempat lesehan. Ternyata, bukan kami saja yang sabar menunggu warung buka. Ada serombongan beberapa orang, yang juga sudah menunggu warung buka. Bahkan mereka sudah ada sebelum kami datang. Wah, saya jadi tambah kepo nih.
Sate Blengong yang dibakar belum ada, karena tungku pembakaran belum siap. Yang ada Kupat Blengong. Ya, ya. Tak apalah. Saya juga ingin mecicipnya. Seperti apa rasanya. Pasti sedap, karena banyak yang rela menunggu untuk mencicipnya.Â
Bahkan menurut Ibu penjualnya, pernah ada pembeli yang khusus datang dari Semarang melewati jalan tol, hanya untuk menikmati Kupat Blengong ini. "Kayak saya dong, bu." kata saya dalam hati. Tuuiing...!Â
Lalu dengan cekatan, piring-piring telah terisi dengan Kupat Blengong. Ia terlihat membuat sambal cabai dicobek, lalu diberi kuah dan ditabur di atas kupat. Sambalnya segar. Langsung ulek. Kuahnya seperti opor, tetapi lebih kental oleh santan dan tepung maizena. Ada mie kuning dan tempe di dalamnya, tak banyak. Hanya sebagai pelengkap saja. Kemudian di beri toping kerupuk.Â
Sebagai teman santapan, ada sate basah masak semur pedas. Juga daging blengong goreng. Mantap. Kupatnya sedap segar, ada taburan kerupuk di atasnya. Kalau dulu saya pernah merasakan, ini semacam Kupat Glabed yang memang juga merupakan makanan khas Tegal. Tetapi ditambah dengan kuah kaldu Blengong. Lebih gurih tentunya.Â
Baru kali ini saya merasakkan Kupat Blengong, yang merupakan makanan khas Tegal. Juga termasuk makanan khas Kota Brebes karena kedua daerah ini berdekatan. Maknyus!Â
Kapan-kapan saya pengin balik merasakannya kembali, ingin merasakan sate blengong yang dibakar, di tempat yang berbeda, meski tetap di lokasi yang sama. Masih kepo dengan rasa satenya.Â
Saatnya berhitung. Harganya tidak merogoh kocek yang dalam. Satu porsi Kupat dibandrol harga 5.000 rupiah. Sate basah bumbu semur pedas 4.000 rupiah per tusuk. Blengong Goreng 9.000 rupiah. Blengong bumbu semur 8.000 rupiah. Es Teh 3.000 rupiah.Â
Salam,Â
Wahyu Sapta.Â
Semarang, 20 Januari 2020.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H