Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Ibu yang Tak Berharap Balas

22 Desember 2019   13:10 Diperbarui: 22 Desember 2019   13:21 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentang Ibu (1)

Dongeng itu, dongeng menjelang tidur. Selalu teringat dibawah alam sadar. Ketika kecil, berulang-ulang kudengar. Tak pernah bosan. Hafal di luar kepala. Meski begitu, dongeng itu kuminta selalu.

Dongeng yang meluncur dari seorang ibu yang lembut, cantik, dan selalu aku merindunya.

Dongeng itu tak bisa tergantikan oleh siapapun. Akan berbeda, jika orang lain yang menceritakannya.

Aku kangen.

Di rembang petang, tereja nama, pada kangen yang tak pernah usai. Pada ia, yang mengisi hati, hari-hari, bersama lompatan-lompatan rasa, apapun. Ia tahu, bahwa kangen ini tak pernah luruh, oleh wujud dan waktu.

Padamu, Ibu.

***

Dok. Wahyu Sapta
Dok. Wahyu Sapta
Tentang Ibu (2)

Pelajaran tentang hidup pertama kali, tentu saja dari ibu. Nasehat, contoh-contoh yang baik, perkataan lembut, adalah sebuah pembelajaran. 

Ibu seorang Kepala Sekolah Dasar. Beruntungnya aku. Ketika hobi membaca tersalurkan oleh perpustakaan sekolah dimana ibu mengajar. Itulah awal pertama imajinasiku berkembang dan aku menjadi suka menulis.

Ibu mendukungku. Juga tentu saja mendukung saudara-saudaraku yang lain. Ibu selalu baik dan sabar pada kami. 

Jika saja dulu tak ada perpustakaan sekolah yang aku anggap bagai perpustakaan pribadi sesuai dengan imajinasi kecilku, maka aku mungkin tidak memiliki hobi menulis seperti sekarang.

Bersyukur memiliki ibu seperti ibu. Ia mendidikku dengan baik. Dan ia memberikan warisan ilmu, yang tak bisa kubeli di toko manapun. Semoga aku bisa mewariskannya juga pada anak-anakku. Meski tak sesempurna ibu.

***

Foto: dok. Wahyu Sapta
Foto: dok. Wahyu Sapta
Tentang Ibu (3)

Setiap ada kesulitan, ibu selalu ada di sampingku. Memberikan semangat. Cintanya melebihi apapun.

Ada hal yang tak bisa dan tak akan pernah kulupakan. Dukungan ibu ketika aku menghadapi proses melahirkan untuk pertama kali. Tentu saja ketakutan melanda. Antara mampu dan tidak. Ketika kesakitan sudah tak kurasa, tetapi semangat itu mengendur. Dua nyawa ada dipundakku. Aku dan bayiku.

Ibu menyemangati, bahwa aku harus berani. "Tantangan sakit yang tak seberapa, nanti akan tergantikan dengan kebahagiaan, nduk. Lahirnya sang bayi, menghapus lelahmu. Hadapi takutmu. Kamu bisa." 

Entah kenapa, semangat itu tiba-tiba memberikan kekuatan. Dan benar saja kata ibu. Sakit dan lelah terbayarkan. Kebahagiaan datang. Bahwa makhluk kecil yang sebelumnya berada di perut, kemudian terlahir, menjadikan naluri keibuanku menyala. Aku menjadi sejajar dengan ibu, dengan menjadi seorang ibu untuk pertama kali. Aku: seorang ibu.

***

Foto: dok. Wahyu Sapta
Foto: dok. Wahyu Sapta
Tentang Ibu (4)

Aku baru benar-benar bisa merasakan peran ibu ketika aku menjadi seorang ibu. Semakin dalam aku memahami peran ibu, semakin aku tahu, bahwa betapa perbedaan peran ibu, antara ibuku dan diriku jauh sekali. Dulu, ibu tak pernah mengeluh bahkan terlihat tegar ketika mengasuh tujuh putranya. Sedangkan aku, dua anak saja terasa berat. Banyak mengeluh.

Ketika dulu fasilitas belum ada, ibu tak pernah mengeluh. Tapi ketika segala fasilitas ada di masa sekarang, aku sering mengeluh. Apalagi ketika sang mbak pamit pulang. Kalang kabut. Aku tak setegar ibu.

Ibuku adalah ibu hebat.

***

Foto: dok. Wahyu Sapta
Foto: dok. Wahyu Sapta
Tentang Ibu (5)

Kali ini aku pulang, untuk menemui ibu untuk terakhir kalinya. Sepanjang perjalanan, kekalutan melandaku. Tapi aku berusaha untuk tegar, menerima apa yang telah terjadi. 

"Tunggu aku ibu, tunggu aku, aku akan segera datang di hadapanmu." segukku pelan. 

Aku merasa perjalanan waktu itu demikian lambat. Padahal aku ingin secepatnya bertemu ibu. Tak boleh tertinggal.

Saat sampai di rumah di mana aku dibesarkan dulu, telah ramai orang-orang yang bertandang. Saudara, kerabat, semua terlihat sedih. Baiklah, aku berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata. Demi untukmu, ibu.

Tapi apa yang terjadi? Toh, air mata ini tetap tak bisa kubendung. Ia mengalir begitu saja, meski aku berusaha keras untuk membendungnya.

Ketika bapak bilang, "Sudah, jangan menangis, doakan saja ibu, ikhlaskan saja ibu." Dengan susah payah aku membendung air mata. Sangat susah payah. Sakit rasanya. Perih terasa di dada.

Tetapi ketika kupandang wajah tenang dan terlihat cantik terpancar dari wajah ibu. Telah bersih, telah suci. Lega rasanya. Bahwa kepergian ibu, adalah jalan terbaik ibu menemui Sang Khaliq.

Baiklah ibu, sugeng tindak, dalem ikhlas.

Mengenangmu Ibu, 24 mei 2014. Ibu telah tenang di sisi Allah SWT. Aku mencintaimu.

***

Foto: Dok. Wahyu Sapta.
Foto: Dok. Wahyu Sapta.
Tentang Ibu (6)

Aku, seorang ibu. Kelak, aku juga ingin, anakku bangga tentang ibunya. Seperti aku, yang bangga memiliki ibu seperti ibuku.

Semarang, 22 Desember 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun