Aku baru benar-benar bisa merasakan peran ibu ketika aku menjadi seorang ibu. Semakin dalam aku memahami peran ibu, semakin aku tahu, bahwa betapa perbedaan peran ibu, antara ibuku dan diriku jauh sekali. Dulu, ibu tak pernah mengeluh bahkan terlihat tegar ketika mengasuh tujuh putranya. Sedangkan aku, dua anak saja terasa berat. Banyak mengeluh.
Ketika dulu fasilitas belum ada, ibu tak pernah mengeluh. Tapi ketika segala fasilitas ada di masa sekarang, aku sering mengeluh. Apalagi ketika sang mbak pamit pulang. Kalang kabut. Aku tak setegar ibu.
Ibuku adalah ibu hebat.
***
Kali ini aku pulang, untuk menemui ibu untuk terakhir kalinya. Sepanjang perjalanan, kekalutan melandaku. Tapi aku berusaha untuk tegar, menerima apa yang telah terjadi.Â
"Tunggu aku ibu, tunggu aku, aku akan segera datang di hadapanmu." segukku pelan.Â
Aku merasa perjalanan waktu itu demikian lambat. Padahal aku ingin secepatnya bertemu ibu. Tak boleh tertinggal.
Saat sampai di rumah di mana aku dibesarkan dulu, telah ramai orang-orang yang bertandang. Saudara, kerabat, semua terlihat sedih. Baiklah, aku berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata. Demi untukmu, ibu.
Tapi apa yang terjadi? Toh, air mata ini tetap tak bisa kubendung. Ia mengalir begitu saja, meski aku berusaha keras untuk membendungnya.
Ketika bapak bilang, "Sudah, jangan menangis, doakan saja ibu, ikhlaskan saja ibu." Dengan susah payah aku membendung air mata. Sangat susah payah. Sakit rasanya. Perih terasa di dada.