"Ada apa Lintang? Tumben nanyanya begitu?"
Kamu memang sangat menghargaiku. Aku tahu, karena rentang usia itu, membuatmu bersikap sopan. Tetapi, kamu adalah kekasih yang baik. Mengertiku, sebagai jiwa seniman. Apalagi kamu juga seniman. Seorang pelukis.
"Aku butuh saran."
"Baiklah. Sekarang aku menemuimu, ya?"
Jadilah bertemu di tempat biasa. Aku melihatmu sedikit bingung. Ada apa?
"Mas, aku ingin bilang sesuatu."
"Ada apa Lintang, ngomonglah,"
"Papa, mas."
Ya, ya. Aku mengerti arah pembicaraan selanjutnya. Lintasan peristiwa itu berulang. Aku tak mau mendengarnya kembali. Hatiku lambat laun berkeping-keping tak berbentuk. Berantakan. Sedang wajahmu pias cemas.
***
Lalu jika sekarang siksa cinta itu tak bersisa, maka itu bukan salahmu. Ini salahku. Aku yang terlalu naif memaksakan suatu rasa yang ternyata salah kumengerti.