Hampir saja tawaku pecah melihat kepolosanmu. Tetapi kutahan demi melihat wajah yang menggambarkan keterkejutan. Tidak enak hati jika aku tertawa. Takut menyinggungmu.
"Biasa saja ah. Ini lukisanmu? Karakternya kuat. Kupikir pelukisnya lebih tua dari yang kuduga. Siapa namamu?"
"Lintang."
Dan mengenalmu seperti terpental pada masa lalu. Wajah yang mirip. Tetapi bukan.
Sejak mengenalmu, aku merasakan dunia utuh kembali. Bertahun-tahun sempat kroak berlobang. Hati ini terisi kembali oleh kehadiranmu yang memberi suasana lain.
Salahkah jika aku jatuh cinta? Lagi? Ya, ya. Aku menyadari, sudah tak muda. Apalagi melihat umurmu. Masih muda. Masih pantaskah jika menjatuhkan pilihan itu? Tetapi, siapa yang bisa menghindari suatu rasa yang tiba-tiba datang tanpa melihat suatu rentang? Sebuah rasa yang berasal dari alam semesta raya. Keindahan ada di pelupuk mata. Menari-nari.Â
Aku bagai di suatu tempat yang tak kuketahui, tetapi tidak asing. Aku pernah merasakannya. Tempat yang membuat hatiku seperti teraduk-aduk. Kadang senang. Sedih, cemas. Tiba-tiba kangen dan ingin bertemu. Denganmu tentu saja.Â
Aku menghela nafas pelan. Kubuang lamunanku.
***
Ketika itu. Ia, yang pernah datang di masa lalu. Bagai bayangan yang membelenggu. Oh, ia, adalah Dwipa.Â
Ia Dwipaku. Tetapi aku tak pernah lagi menemukannya. Semenjak dulu, ketika ayahnya melarangku untuk bertemu kembali. Seluruh akses tertutup. Ayahnya tak setuju, karena aku seorang seniman dan berkata bahwa dariku tak ada jaminan masa depan.