Pagi temaram. Mendung sejak fajar membuat sedikit gelap. Aku baru saja selesai memberi makan binatang kesayangan. Ayam, ikan, kucing dan burung. Selesai sudah. Tinggal membereskan lalu istirahat di taman.
Tiba-tiba bunyi pagar bergeser, tanda seseorang datang. Raharjo. Teman SMA dulu. Tanpa kupersilahkan, ia langsung menuju taman menemuiku. Ia biasa datang tanpa perjanjian. Dan aku hapal.
Sebenarnya, aku tak mengharap kedatangannya. Tetapi, ada iba untuknya. Ia pernah mengatakan bahwa aku satu-satunya teman yang mau berbincang dengannya.
Ia kelihatan kacau. Hampir tiap hari berpenampilan kacau dan berantakan. Wajahnya redup. Tanpa aba-aba ia bicara, "Tere, apa kabarmu? Lama aku tidak mampir ke sini."
"Kan baru minggu lalu kamu kemari. Hei, wajahmu kusut. Kenapa?"
Ia tak menjawab. Kulihat ada goresan luka menganga ditangannya. Ya Tuhan. Kenapa? Ia mungkin tak merasa kesakitan yang sangat, meski luka itu jelas merah dan menganga. Aku tahu, ekspresi wajahnya datar. Mungkin rasa kesakitannya telah mati.
Sejenak kemudian ia berbicara.
"Aku mencuri roti, Ter." katanya.
"Harusnya kau meminta, Har. Bukan mencuri!" Aku sedikit memarahi.
Berkali-kali aku menasehati, agar ia jangan mengambil sesuatu begitu saja yang bukan miliknya. Harus ada izin jika ia menginginkannya. Pasti akan dikasih. Ya, ya. Aku banyak mendengar dari beberapa penjual di pasar, bahwa ia sering mengambil makanan dari lapak.
"Aku terlalu lapar, mereka malah mengusirku. Aku ambil saja roti itu, kemudian pergi. Mereka marah dan mengejar. Tanganku tersambar benda tajam. Sakit. Tapi laparku ini, mengalahkan sakit." katanya datar sambil memperlihatkan luka di lengan kiri. Ngeri melihat lukanya.
Kuambil obat dari dalam dan memberikan padanya.
"Obati lukamu. Sebentar lagi pasti sembuh." Ia mengangguk.
Aku memaklumi. Dengan penampilan masai. Rambut hampir tak pernah keramas dan tersisir. Panjang sebahu. Baju kusut dan nyaris tak ganti. Itupun kalau tak dipaksa oleh tetangganya buat salin. Beruntung ia masih memiliki tetangga yang peduli. Dan entah kapan ia terakhir mandi, hingga menambah kumal wajahnya. Aromanya aduhai. Tentu orang-orang yang di dekatnya juga memaklumi. Dan akan segera menjauh.
Ia kemudian duduk di bangku taman yang terbuat dari semen. Sedang aku bergeser beberapa meter darinya.
Ia menghisap rokok yang dipegang di sela jari. Kemudian dihembuskan perlahan hingga mengeluarkan asap putih. Aku tak suka bau asap rokok. Juga aroma aduhainya. Kemudian kuusahakan tak kentara menutup hidung pelan. Takut ia tersinggung. Berabe jadinya.
"Kamu tahu Ter, aku dulu tentara. Malang melintang ke berbagai daerah. Terakhir yang aku ingat tugas di Bali. Tapi sejak itu, entah mengapa aku disuruh berhenti dan dipulangkan ke keluarga. Padahal kau tahu kan Ter, aku hanya tinggal dengan ibu yang telah tua. Ibu merawatku. Katanya aku sakit. Tak berapa lama setelah peristiwa itu, ia meninggal. Tinggallah aku seorang diri. Aku tak punya siapa-siapa lagi."
Cerita itu menggema kembali. Tiap bertemu, ia menceritakan cerita yang sama. Ya, aku juga pernah mendengar, ia dipulangkan karena menderita depresi berat. Sepintas ia terlihat normal saat berbicara. Lama-lama melantur tak tentu arah.
Aku berteman dengannya sejak SMA. Ia memang bukan anak yang paling pandai. Tengah-tengah saja. Penderitaannya dimulai dari kecil. Sering terlambat sekolah sudah biasa, karena harus merawat kudanya terlebih dahulu. Kuda itu untuk disewakan sebagai kuda andong tetangganya. Sangat menyita waktu, hingga sering terlambat ke sekolah.
Dengan sepeda ontel menuju sekolah lima kilometer jaraknya. Semangatnya tak pernah surut, hingga lulus. Lalu berpisah denganku. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi padanya.
Hingga terakhir bertemu setahun lalu, dengan kondisi yang sama seperti saat ini. Ia masih ingat mampir ke rumah.
Kadangkala ia menyebut teman lain. Katanya ia sering mendapat bisikan-bisikan dari teman yang entah dari mana. Aku mengira, itu pasti halusinasinya.
"Ter..." serunya.
Aku tersentak.
"Apa?"
"Aku sebenarnya tidak gila, tapi mereka mengatakan bahwa aku gila. Aku banyak bertemu dengan teman-teman lama kita. Tapi sepertinya mereka menjauhiku. Aku masih ingat nama mereka. Tapi setiap bertemu mereka, mereka pura-pura tak mengenalku. Memang tidak semua, bahkan sering mereka memberiku uang atau makanan. Tapi mereka berlalu, seperti mengusirku. Tidak seperti kamu, mau kuajak ngobrol."
"Sudah, teruskan ceritamu."
"Aku sering mendengar suara-suara aneh, mendengung di telingaku. Aku sering mengelaknya, tapi suara itu terlalu kuat. Mereka memanggilku agar datang pada suatu tempat di sana. Aku harus bagaimana? Suntuk aku. Huh." keluhnya.
Aku juga paham tentang ini. Itu mengapa orang sering bilang bahwa ia berbicara sendiri. Bahkan saat penyakitnya kambuh, ia sering berteriak keras, memanggil sebuah nama lalu seperti tak bisa menahan emosi, ia memukul semua barang yang berada didekatnya. Tentu saja orang yang berada di sekitarnya menjauh ketakutan.
"Ter, kau mau makan denganku sebentar saja, di warung pojok seberang jalan? Aku yang traktir." katanya mulai melantur. Tak mungkin ia mentraktirku. Kutolak halus ajakannya.
"Har, terima ini. Pakailah dengan benar. Buat beli makan. Jangan kau belikan rokok, ya. Ada baiknya kau harus berhenti merokok. Janji padaku."
Ia menerima pemberian dengan ekspresi datar.
Ya Tuhan, semoga lukanya cepat sembuh, batinku. Aku percaya, ia memiliki rezeki, dimanapun berada. Dan aku tak mengharapkan ia datang kembali dalam waktu dekat.
"Baiklah, makasih ya. Kau sungguh baik hati." katanya sambil berlalu.
Meninggalkan diriku di sudut taman. Tanpa pamit. Ia membuka pagar dan menutupnya kembali. Pergi.
Semarang, 9 Oktober 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H