Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Roti Itu dan Luka yang Menganga

9 Oktober 2019   17:00 Diperbarui: 10 Oktober 2019   19:32 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sepotong roti. Sumber: Unsplash.com/ Jonathan Pielmayer @jonathanpielmayer

Kuambil obat dari dalam dan memberikan padanya.

"Obati lukamu. Sebentar lagi pasti sembuh." Ia mengangguk.

Aku memaklumi. Dengan penampilan masai. Rambut hampir tak pernah keramas dan tersisir. Panjang sebahu. Baju kusut dan nyaris tak ganti. Itupun kalau tak dipaksa oleh tetangganya buat salin. Beruntung ia masih memiliki tetangga yang peduli. Dan entah kapan ia terakhir mandi, hingga menambah kumal wajahnya. Aromanya aduhai. Tentu orang-orang yang di dekatnya juga memaklumi. Dan akan segera menjauh.

Ia kemudian duduk di bangku taman yang terbuat dari semen. Sedang aku bergeser beberapa meter darinya.

Ia menghisap rokok yang dipegang di sela jari. Kemudian dihembuskan perlahan hingga mengeluarkan asap putih. Aku tak suka bau asap rokok. Juga aroma aduhainya. Kemudian kuusahakan tak kentara menutup hidung pelan. Takut ia tersinggung. Berabe jadinya.

"Kamu tahu Ter, aku dulu tentara. Malang melintang ke berbagai daerah. Terakhir yang aku ingat tugas di Bali. Tapi sejak itu, entah mengapa aku disuruh berhenti dan dipulangkan ke keluarga. Padahal kau tahu kan Ter, aku hanya tinggal dengan ibu yang telah tua. Ibu merawatku. Katanya aku sakit. Tak berapa lama setelah peristiwa itu, ia meninggal. Tinggallah aku seorang diri. Aku tak punya siapa-siapa lagi."

Cerita itu menggema kembali. Tiap bertemu, ia menceritakan cerita yang sama. Ya, aku juga pernah mendengar, ia dipulangkan karena menderita depresi berat. Sepintas ia terlihat normal saat berbicara. Lama-lama melantur tak tentu arah.

Aku berteman dengannya sejak SMA. Ia memang bukan anak yang paling pandai. Tengah-tengah saja. Penderitaannya dimulai dari kecil. Sering terlambat sekolah sudah biasa, karena harus merawat kudanya terlebih dahulu. Kuda itu untuk disewakan sebagai kuda andong tetangganya. Sangat menyita waktu, hingga sering terlambat ke sekolah.

Dengan sepeda ontel menuju sekolah lima kilometer jaraknya. Semangatnya tak pernah surut, hingga lulus. Lalu berpisah denganku. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi padanya.

Hingga terakhir bertemu setahun lalu, dengan kondisi yang sama seperti saat ini. Ia masih ingat mampir ke rumah.

Kadangkala ia menyebut teman lain. Katanya ia sering mendapat bisikan-bisikan dari teman yang entah dari mana. Aku mengira, itu pasti halusinasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun