"Ter..." serunya.
Aku tersentak.
"Apa?"
"Aku sebenarnya tidak gila, tapi mereka mengatakan bahwa aku gila. Aku banyak bertemu dengan teman-teman lama kita. Tapi sepertinya mereka menjauhiku. Aku masih ingat nama mereka. Tapi setiap bertemu mereka, mereka pura-pura tak mengenalku. Memang tidak semua, bahkan sering mereka memberiku uang atau makanan. Tapi mereka berlalu, seperti mengusirku. Tidak seperti kamu, mau kuajak ngobrol."
"Sudah, teruskan ceritamu."
"Aku sering mendengar suara-suara aneh, mendengung di telingaku. Aku sering mengelaknya, tapi suara itu terlalu kuat. Mereka memanggilku agar datang pada suatu tempat di sana. Aku harus bagaimana? Suntuk aku. Huh." keluhnya.
Aku juga paham tentang ini. Itu mengapa orang sering bilang bahwa ia berbicara sendiri. Bahkan saat penyakitnya kambuh, ia sering berteriak keras, memanggil sebuah nama lalu seperti tak bisa menahan emosi, ia memukul semua barang yang berada didekatnya. Tentu saja orang yang berada di sekitarnya menjauh ketakutan.
"Ter, kau mau makan denganku sebentar saja, di warung pojok seberang jalan? Aku yang traktir." katanya mulai melantur. Tak mungkin ia mentraktirku. Kutolak halus ajakannya.
"Har, terima ini. Pakailah dengan benar. Buat beli makan. Jangan kau belikan rokok, ya. Ada baiknya kau harus berhenti merokok. Janji padaku."
Ia menerima pemberian dengan ekspresi datar.
Ya Tuhan, semoga lukanya cepat sembuh, batinku. Aku percaya, ia memiliki rezeki, dimanapun berada. Dan aku tak mengharapkan ia datang kembali dalam waktu dekat.
"Baiklah, makasih ya. Kau sungguh baik hati." katanya sambil berlalu.
Meninggalkan diriku di sudut taman. Tanpa pamit. Ia membuka pagar dan menutupnya kembali. Pergi.