Ya, ya. Juna mengenalku ketika bertemu di sebuah acara pesta rakyat. Pameran tentang barang-barang furniture tempatku bekerja. Saat itu ia hanya iseng datang ke tempat pameran, kemudian mengenalku. Katanya, ia langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia yakin, bahwa aku adalah calon mempelainya.
Aku tak mempercayainya. Bagaimana bisa? Cinta pada pandangan pertama? Hanya ada di sebuah cerita mungkin. Tetapi ia mampu meyakinkanku. Hingga  aku mau menjadi kekasihnya. Butuh dua bulan lamanya, pendekatan Juna padaku.Â
Hingga akhirnya aku tunduk pada cintanya. Tak salah, ia begitu baik. Sifat baiknya itu yang kadang membuatku mati kutu. Tetapi sih, sebenarnya ia baik pada semua orang.
Diusiaku yang mendekati tiga puluh tahun, amat mencemaskan ibu. Ada desakan ibu agar aku segera menerima pinangan Juna.
"Apa yang kau tunggu, Dys? Aku rasa Juna serius padamu dan tak main-main."
"Ibu mengerti aku, bukan? Kenangan itu, bu. Membuatku masih menimbang rasa."
"Lupakan kenangan itu. Raih bahagiamu, nak." kata ibu lembut.
Kata-kata ibu mengiang di telingaku. "Lupakan kenangan itu. Raih bahagiamu." Oh, ibu. Tak tahukah bagaimana rasanya kenangan itu membuat hatiku tersayat sembilu? Nyeri itu terasa hingga sekarang. Kenangan itu masih tampak di pelupuk mata. Meski tersamar-samar oleh kebaikan Juna.
Tetapi, kenangan buruk yang menimpaku empat tahun lalu sangat membekas. Bagaimana tidak, Ray pergi selamanya tepat di hari menjelang kami akan menikah. Kecelakaan yang merenggut kebahagiaan kami, juga membawa serta hatiku. Ray yang aku cintai dan hampir menikah, meninggalkanku tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan.
Mungkin sudah takdirku. Tetapi aku belum mampu menerimanya. Setiap ada yang ingin mendekatiku, selalu teringat Ray. Bayangan wajahnya, kebaikannya nyaris tak pernah hilang dari pelupuk mata. Hingga Juna mampu menyamarkannya. Tapi tidak sepenuhnya.
***