Tak kupungkiri waktu memberikan banyak kenangan. Indah, buruk, senang, atau sedih. Kenangan membuatku merasa pernah mengalami masa lalu. Masa di mana aku pernah seumuran dengan sang waktu, dan memberikan kenangan yang selalu berumur lebih muda dariku. Kenangan itu, tak pernah terhapus oleh waktu. Tak jua olehmu? Oh...
***
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Arjuna. Aku hanya menggeleng. Serius, ia bertanya dengan wajah cemas saat aku merasa gundah. Aku menengok ke arahnya, untuk meyakinkan bahwa aku tak apa-apa.
"Tak ada apa-apa Juna. Aku hanya terpikirkan ibuku. Ia sedang menungguku. Dan aku dengan santai tak segera ke sana menemuinya."
"Mengapa kau tak bilang dari tadi. Kalau aku tahu, kan kita segera ke sana. Ibu sehat, kan?" katanya.
Dan mengapa Juna yang lebih cemas dari aku? Ia memang sosok yang amat menyayangi ibu. Bukan saja pada ibunya sendiri ataupun ibuku. Ia bahkan sering mencemaskan sesuatu, saat melihat seorang ibu tua renta yang ditemuinya berjuang sendirian. Seperti pedagang kacang rebus yang ditemuinya tempo hari.
Bahkan ia memberi cuma-cuma uang dua ratus ribu kepada ibu penjual itu. Hei, uang sebesar itu, bagiku banyak. Cukup lah untuk membeli buku novel empat buah, untukku yang memiliki hobi mengumpulkan buku, batinku.
Tetapi menurut Juna, ia memberikannya karena kasihan pada ibu itu. Meski telah renta masih berjualan. Dan barang yang dijualnya tak seberapa.
"Lalu kemana anak-anaknya? Mengapa membiarkan ibunya berjualan? Bukankah anaknya bisa memberinya nafkah?" tanyaku.
"Aku memberikannya ikhlas, Dys. Nggak perlu ada pertanyaan untuk memberikan sesuatu." jawabnya sambil menyentuh hidungku gemas.
Akhirnya aku hanya terdiam. Juna memang selalu begitu. Anganku mengembara mengingatnya.