Bintang-bintang telah kembali. Nyala lampu mulai bertebaran. Langit gelap, sensasi kerlip di sana. Semakin lelah tubuh ini, kusandarkan dalam bidang bahumu.
Kamu dalam diammu, aku dalam diamku.
Telah lama aku membuai nikmatnya cinta dan sayangmu. Terlukiskan segala keindahan yang tak berkesudahan. Kita, aku dan kamu tersenyum. Tertawa. Berteriak. Menyapa. Bercanda. Manyun. Marah. Cemburu. Cemberut. Lalu terbahak-bahak.
Mengingat semua peristiwa itu yang mengelibat tiba-tiba. Beberapa waktu lalu, sekilas wajah cantik rupawan menjelma dewasa. Ia dulu kecil mungil lucu dengan rambut ikal panjang sebahu. Oh, sebentar lagi ia sweet seventeen. Ia bertanya padaku, "Bunda, apakah aku telah dewasa?"
Tentu saja mendengar pertanyaan yang tiba-tiba dan tak disangka, aku menjadi jengah. Lalu aku tersadar. Ia mulai bertumbuh dan menuju dewasa. Aku berusaha bijak menjawab, "Nak, kau semakin matang, jaga dirimu baik-baik, ya."
Ia menganggukkan kepala. Tak membantah. Sorot matanya bening.Â
"Ah nak, kau adalah tambatan hati bunda." kataku diam-diam tanpa menoleh ke wajahnya lagi. Air mata merembes pelan di sudut mata. Hanya sedikit. Aku tak ingin ia melihatnya.
Sang ayah tak mau kalah, menggodanya, "Awas, ada cowok temanmu kemari, hadapi dulu ayahmu."
Ia yang dulu kecil lucu dengan rambut ikal panjang sebahu hanya tersenyum. Lalu iapun berkata," Ah, ayah, aku kan bisa jaga diri." Hanya jawaban ringan yang ia berikan. Pipinya yang kemerahan, tanda bahwa ia malu pada godaan Sang Ayah.
Hanya aku saja. Mengingat. Saat itu, kamupun ~Sang Ayah~ dulu pernah mengalaminya. Menghadapi Bapak yang galak tapi bijak. Untung saja hatimu baik. Lemah lembut bak pualam. Meski kadang garang oleh amarah, saat suasana hati yang sedang gundah oleh masalah lain. Tetapi kepadaku, hatimu selalu baik.
Akhirnya hati Bapak luluh karena kehalusan budimu. Menerimamu tanpa syarat. Mengikhlaskkan putrinya kepadamu. Aku.
"Terimalah cintaku," begitu katamu.
Lalu kita bergerak cepat meraih hati dan mengikrar janji. Melingkarkan sematan cincin di jari manis sebelah kanan. Tanda bahwa kita menikah.
***
Bintang-bintang telah kembali. Kini bulan mengekor untuk menampakkan indahnya cahaya. Kamu merengkuhku, mendaratkan ciuman di kening. Hening. Akupun sukacita. Bahagia.
Kamu berkata, "Cintailah aku, walaupun mungkin tak selalu mulus jalannya."
Aku hanya tertunduk malu bagai remaja yang jatuh cinta. Kembali untuk kesekian kali.
Perjalanan hidup memang tak bisa ditebak arahnya. Tetapi kita bisa saja membuat kebahagiaan hidup, jika kita mau. Tak usah memandang jauh, di dekat kita bisa membuat kebahagiaan yang sesungguhnya. Kamu.
Kualihkan perhatianku pada bintang-bintang. Semakin menyala berkelip di sana. Hatiku berkata, "Tetapi memang, berada di dekatmu adalah suatu kenyamanan abadi." Aku bahagia berada di dekatmu.
Menyenangkan meski kadang tak selalu senang. Ada aliran kesedihan yang tiba-tiba datang, meski tak selamanya sedih selalu datang. Bahagia, sedih, datang bergantian adalah hal biasa. Jika kita bisa melewatinya. Lalu berganti suka yang sebagaimana adanya. Bukan yang dibuat-buat.
"Sayang, aku ingin mencintai, memiliki, dan membahagiakanmu tak hanya semalam. Bermalam-malam penuh cerita. Kau akan selalu di hatiku, meski lelah jiwa dan raga. Tak akan terasa jika di dekatmu, " katamu di suatu hari.
Lalu kita dalam kesenyapan. Merenungkan hati.
***
Bintang-bintang telah kembali. Awan putih nampak gelap berbalik bercahaya tertempa sinar bulan malam ini. Aku terlelap dalam bahumu. Serta-merta mendengar bisikmu yang syahdu, "Sayang tidurlah selalu di sisiku, aku mencintaimu. "
Selanjutnya keheningan memecahkan bahagia. Membelah bahagia beranak-pinak. Bahagia mengalir ke segala penjuru. Ke ruangan kamar, rumah, tumpah ruah ke alam semesta. Bahagia membahana ke bintang-bintang di langit.
***
Bintang-bintang telah kembali. Bintang akan tetap kembali dan memenuhi janjinya. Tidur, tidurlah, dalam buaian sang malam. Menanti sang fajar, menyongsong matahari esok, yang akan lebih ramah dan bersahabat. Dalam kelibat hari-hari, aku ingin mencintaimu dan seterusnya. Suatu perhubungan abadi, akan membuai dan mengandai-andai sebuah nyata. Dalam eloknya bintang-bintang, di langit yang gelap.
"Jika aku yang pulang lebih dahulu. Lihatlah bintang yang berkelip itu. Aku ada di sana. Menunggumu. Berdua kita akan menari langit. Bersama bintang dan nebula-nebula." kataku.
"Dan jika aku yang lebih dulu pulang. Maka pandanglah langit yang berbintang. Akan ada bintang yang paling terang dan memancarkan cahayanya hingga ke sini. Itu aku. Aku akan selalu bersamamu. Kerlipnya, memberimu kebahagiaan. Yang abadi. Selamanya. Hingga kita bertemu kembali." katamu.
Semarang, 19 Februari 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H