Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Kuliner Ikan Manyung Khas Rembang yang Bikin "Gembrobyos"

18 Januari 2019   07:14 Diperbarui: 18 Januari 2019   13:35 1471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di warung ini, ikan yang dipakai adalah ikan manyung. Jadi penasaran bagaimana rasanya. Saya pun ingin mencicipnya.

Kuahnya tidak bersantan, kuning bening berbumbu. Aroma rempah-rempah menusuk hidung. Tampak kasat mata, ia memakai kunyit, merica, cabai rawit kuning yang masih mengkal, serai, daun jeruk, asam jawa, bawang merah, bawang putih. Kata penjualnya, juga memakai ketumbar, jintan, jahe dan lain-lain.

"Bumbu jangkep pokoknya, semua masuk." katanya. Bumbu jangkep adalah bumbu komplet yang ada di dapur.

Selain rasanya pedas, juga segar karena memakai timun krai yang dimasak bersamaan sebagai pelengkapnya. Mantap! (Dokpri).
Selain rasanya pedas, juga segar karena memakai timun krai yang dimasak bersamaan sebagai pelengkapnya. Mantap! (Dokpri).
Lalu saya ambil sendok dan mengambil kuahnya. Saya mencicipnya. Hem, pedasnya langsung terasa. Juga gurih lezat. Pedas itu berasal dari cabai rawit kuning mengkal dan merica yang dominan. Kata penjualnya, ia tidak memakai cabai rawit merah, karena bakalan terlalu pedas. Sedangkan cabai rawit kuning mengkal memiliki rasa yang khas.

Rasa enak ini membuat saya menyantapnya dengan senang hati. Apalagi kebetulan saat itu, pembeli tidak begitu banyak, karena sudah melewati jam makan siang. Bisa sambil mengobrol dengan penjualnya.

Ia bercerita, bahwa warung ini banyak yang mencari. Bukan saja dari kota Rembang, tetapi dari kota lain. Seperti Semarang, Boyolali, Solo, yang kebetulan melintas. Warung tersebut dekat dengan jalan utama pantura. 

Mereka datang karena kelezatannya, bahkan pernah sore hari ketika ia mau menutup warung karena makanan sudah habis ada serombongan pembeli yang ingin makan di sana dari luar kota.

Karena tidak tega dan tidak baik menolak rezeki, maka ia mau membukanya kembali. Mereka dari jauh hanya untuk bisa menikmati kelo mrico. Ia bilang, jika mereka mau menunggu, maka ia akan memasak lagi. 

Ternyata rombongan itu rela menunggu. Wah, ibunya baik hati ya. Ia merupakan generasi kedua dari warung ini meneruskan usaha orang tuanya Bu Wadji.

Di sela ia bercerita, kemudian ada pembeli datang  kira-kira empat orang. Ibu penjualnya dengan sigap melayani mereka. Rupanya warung ini tak pernah sepi dari pembeli. Selalu saja ada yang datang.

Sedangkan saya dan teman saya meneruskan makan. Kelo mrico ini pedasnya menguar. Segar sekali dengan timun krai yang dimasak bersamaan. Membuat sajian ini sedap. Hem, tak terasa keringat menetes karena rasa pedas dari campuran cabai rawit dan merica. Gembrobyos! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun