Kemarin saya melewati kota Rembang. Sebuah kota yang terletak di jalur pantura sebelah timur Semarang. Merupakan kota pesisir. Terkenal dengan pantai Kartini. Juga merupakan penghasil garam. Rembang memiliki pelabuhan Tasik Agung. Sebuah pelabuhan kecil dengan kapal nelayan yang menghasilkan ikan.
Pelabuhan ini merupakan dermaga kapal perikanan dan tempat pelelangan ikan. Juga merupakan fasilitas sarana dan prasarana untuk mengoptimalkan hasil komoditas perikanan laut yang mampu menyumbangkan devisa bagi kota Rembang.
Sedangkan saya sendiri belum pernah. Lalu saya bertanya, apa namanya? Ia menjawab bahwa makanan itu bernama Kelo Mrico. Katanya, enaknya nendang banget dan pedas. Sayapun penasaran dan ingin mampir ke sana.
Sampailah ke tempat yang dituju. Tetapi ketika sampai di lokasi, ternyata warungnya sudah tidak ada. Ia sedikit kecewa dan bilang, ya sudah kita tidak jadi makan Kelo Mrico.Â
Tetapi saat berputar arah dengan mengelilingi kampung, eh ketemu juga warung itu. Masih ada, hanya bergeser tempatb dan tidak jauh dari lokasi semula.
Sebenarnya ia tidak hafal nama warungnya, hanya menebak saja. Karena sudah lama, zaman bapaknya masih dinas di kota Rembang.
Dan beruntunglah saya ternyata warung itu adalah warung yang diinginkan. Nama warungnya adalah WM Mrico Bu Wadji. Menyediakan masakan tradisional khas Rembang. Lokasinya di komplek kantor Pelabuhan Tasik Agung Rembang.
Taraaa... pesanan datang. Sepiring Kelo Mrico sudah ada di depan mata. Bersama nasi hangat dengan piring terpisah. Hem, baunya harum rempah-rempah dan aroma pedas. Ikannya segar. Mirip sup ikan. Sebenarnya apa itu Kelo Mrico?
Kelo Mrico adalah sebuah masakan dengan bahan dasar ikan. Makanan khas kota Rembang. Biasanya memakai ikan bandeng, patin, manyung, dan ikan lainnya. Kelo sendiri artinya sayur. Mrico adalah merica atau lada. Jadi, kelo mrico adalah sebuah sayur dengan bumbu utama merica. Sedangkan ndas manyung adalah kepala ikan manyung.
Di warung ini, ikan yang dipakai adalah ikan manyung. Jadi penasaran bagaimana rasanya. Saya pun ingin mencicipnya.
Kuahnya tidak bersantan, kuning bening berbumbu. Aroma rempah-rempah menusuk hidung. Tampak kasat mata, ia memakai kunyit, merica, cabai rawit kuning yang masih mengkal, serai, daun jeruk, asam jawa, bawang merah, bawang putih. Kata penjualnya, juga memakai ketumbar, jintan, jahe dan lain-lain.
"Bumbu jangkep pokoknya, semua masuk." katanya. Bumbu jangkep adalah bumbu komplet yang ada di dapur.
Rasa enak ini membuat saya menyantapnya dengan senang hati. Apalagi kebetulan saat itu, pembeli tidak begitu banyak, karena sudah melewati jam makan siang. Bisa sambil mengobrol dengan penjualnya.
Ia bercerita, bahwa warung ini banyak yang mencari. Bukan saja dari kota Rembang, tetapi dari kota lain. Seperti Semarang, Boyolali, Solo, yang kebetulan melintas. Warung tersebut dekat dengan jalan utama pantura.Â
Mereka datang karena kelezatannya, bahkan pernah sore hari ketika ia mau menutup warung karena makanan sudah habis ada serombongan pembeli yang ingin makan di sana dari luar kota.
Karena tidak tega dan tidak baik menolak rezeki, maka ia mau membukanya kembali. Mereka dari jauh hanya untuk bisa menikmati kelo mrico. Ia bilang, jika mereka mau menunggu, maka ia akan memasak lagi.Â
Ternyata rombongan itu rela menunggu. Wah, ibunya baik hati ya. Ia merupakan generasi kedua dari warung ini meneruskan usaha orang tuanya Bu Wadji.
Di sela ia bercerita, kemudian ada pembeli datang kira-kira empat orang. Ibu penjualnya dengan sigap melayani mereka. Rupanya warung ini tak pernah sepi dari pembeli. Selalu saja ada yang datang.
Sedangkan saya dan teman saya meneruskan makan. Kelo mrico ini pedasnya menguar. Segar sekali dengan timun krai yang dimasak bersamaan. Membuat sajian ini sedap. Hem, tak terasa keringat menetes karena rasa pedas dari campuran cabai rawit dan merica. Gembrobyos!Â
Sampai-sampai saya menggaruk-garuk kepala saking pedasnya dan masih ada tambahan sambal cabai merah mentah dengan terasi bakar. Aduhai, bikin lidah rasanya bergoyang. Huh! Hah! Bagi penggemar pedas, makanan ini cocok!
Cocok untuk menu makan siang, meskipun warung ini buka dari jam 7 pagi hingga pukul 6 sore. Jika sudah habis, bahkan tutup lebih awal.
Kemudian saya minta dibungkuskan lagi dua porsi untuk yang di rumah. Ibunya dengan senang hati melayaninya. Katanya sayur ini tahan sampai malam hari. Memasaknya selalu baru jadi jika saya bawa ke Semarang masih enak dan segar.
Kemudian saya bilang, "Bu, saya foto ya, biar ibu semakin terkenal." Dan ia tersenyum manis. Bahkan saya juga ikutan eksis. Berfoto! Hehehe...
Jika kesulitan lokasi, cari saja di google map. Tulis Warung Makan Mrico Bu Wadji. Dekat Klenteng Tjoe Hwie Kiong. Jalan menuju Pelabuhan Tasik Agung, Kecamatan Rembang. Pasti ketemu. Dan jika ke sana, salam ya buat ibu penjualnya. Hahaha...
Ciao,
Wahyu Sapta.
Semarang, 18 Januari 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H