Di warung ini, ikan yang dipakai adalah ikan manyung. Jadi penasaran bagaimana rasanya. Saya pun ingin mencicipnya.
Kuahnya tidak bersantan, kuning bening berbumbu. Aroma rempah-rempah menusuk hidung. Tampak kasat mata, ia memakai kunyit, merica, cabai rawit kuning yang masih mengkal, serai, daun jeruk, asam jawa, bawang merah, bawang putih. Kata penjualnya, juga memakai ketumbar, jintan, jahe dan lain-lain.
"Bumbu jangkep pokoknya, semua masuk." katanya. Bumbu jangkep adalah bumbu komplet yang ada di dapur.
Rasa enak ini membuat saya menyantapnya dengan senang hati. Apalagi kebetulan saat itu, pembeli tidak begitu banyak, karena sudah melewati jam makan siang. Bisa sambil mengobrol dengan penjualnya.
Ia bercerita, bahwa warung ini banyak yang mencari. Bukan saja dari kota Rembang, tetapi dari kota lain. Seperti Semarang, Boyolali, Solo, yang kebetulan melintas. Warung tersebut dekat dengan jalan utama pantura.Â
Mereka datang karena kelezatannya, bahkan pernah sore hari ketika ia mau menutup warung karena makanan sudah habis ada serombongan pembeli yang ingin makan di sana dari luar kota.
Karena tidak tega dan tidak baik menolak rezeki, maka ia mau membukanya kembali. Mereka dari jauh hanya untuk bisa menikmati kelo mrico. Ia bilang, jika mereka mau menunggu, maka ia akan memasak lagi.Â
Ternyata rombongan itu rela menunggu. Wah, ibunya baik hati ya. Ia merupakan generasi kedua dari warung ini meneruskan usaha orang tuanya Bu Wadji.
Di sela ia bercerita, kemudian ada pembeli datang kira-kira empat orang. Ibu penjualnya dengan sigap melayani mereka. Rupanya warung ini tak pernah sepi dari pembeli. Selalu saja ada yang datang.
Sedangkan saya dan teman saya meneruskan makan. Kelo mrico ini pedasnya menguar. Segar sekali dengan timun krai yang dimasak bersamaan. Membuat sajian ini sedap. Hem, tak terasa keringat menetes karena rasa pedas dari campuran cabai rawit dan merica. Gembrobyos!Â